Senin, 26 Oktober 2015

Sistem Perkaderan IPM

Sistem Perkaderan Ikatan Pelajar Muhammadiyah Cetakan Pertama, Muharram 1436 H | November 2014 M –––––––––––––––––––––––––––––––––––––– Penyunting & Editor Azaki Khoirudin Lay Out & Design Cover Nun Pustaka –––––––––––––––––––––––––––––––––––––– Diterbitkan Atas Kerja Sama Bidang Perkaderan PP IPM Jl. KH. Ahmad Dahlan 103 Yogyakarta e-mail: sekretariat@ipm.or.id website: www.ipm.or.id Suara Muhammadiyah Jl. KH. Ahmad Dahlan 43 Yogyakarta e-mail: redaksism@gmail.com website: www.suaramuhammadiyah.com –––––––––––––––––––––––––––––––––––––– ISBN: xxx-xxx-xxxxx-x-x i Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Alhamdulillahi rabbil ’alamin, rasa syukur patut kita pujikan kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya, sehingga di paruh setengah abad ke dua ini Ikatan Pelajar Muhammadiyah tetap eksis menjalankan maksud dan tujuannya, yaitu dalam rangka mewujudkan pelajar berakhlak mulia, terampil, cerdas, dan tentunya dalam rangka menjadikan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Selain itu, kita juga patut bersyukur atas diterbitkannya Buku Sistem Perkaderan IPM ini. Ucapan terima kasih dan apresiasi yang tinggi saya sampaikan kepada Tim Materi dan perumus SPI ini, terutama Ipmawan Azaki Khoirudin yang mengawal Tim Materi sehingga gagasan tim dapat tertuang dan disebar luaskan kepada kaderkader IPM se-Indonesia. Periode 2012-2014 merupakan periode ke-3 setelah Ikatan ini kembali lagi sesuai nama pertama kalinya didirikan, yaitu Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Dinamika panjang sedari berubahnya nama Ikatan Remaja Muhammadiyah kembali ke Ikatan Pelajar Muhammadiyah, tidak hanya sekedar nama saja yang berganti, akan tetapi memfokuskan basis sekolah sebagai basis gerakan, revitalisasi gerakan, serta menajamkan visi dan misi menjadi catatan dan evaluasi besar Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Periode pertama IPM pasca IRM (periode 2008-2010) telah berhasil menempatkan sendi-sendi utama transisi perubahan IRM-IPM berupa Muqodimah gerakan IPM, nilai-nilai, dan landasan ideologis. Periode ke-2 IPM (periode 2010-2012) berhasil mewadahi pelajar-pelajar Indonesia (Pelajar Muhammadiyah pada khususnya) ke dalam wadah Ikatan Pelajar Muhammadiyah, merapikan dan menertibkan administrasi dengan menerbitkan pedoman administrasi dan pedoman pengelolaan ranting sekolah, membingkai simbol seragam IPM melalui batik IPM, serta merebut gelar OKP berprestasi di tingkat nasional dan ASEAN. Pada periode ke-3 ini (periode 2012-2014) kami membingkai gerakan pelajar dengan brand “Pelajar Berkemajuan”, tetap fokus melanjutkan dua periode sebelumnya dengan mempertahankan gelar OKP berprestasi tingkat nasional dan ASEAN, mengembangkan dan menyolidkan konsolidasi internal ikatan secara nasional dari Sabang sampai Merauke, menguatkan sendi-sendi perkaderan IPM dengan menyelesaikan dan menerbitkan buku Sistem Perkaderan IPM secara nasional, mengembangkan daya saing kader dengan meningkatkan kualitas entrepreneurship kader, serta mengembangkan pergaulan IPM ke ranah internasional dan menyiapkan daya saing kader ke ranah tersebut. Ikatan Pelajar Muhamadiyah tetap menjadi wadah utama untuk melahirkan kader-kader utama ikatan dan persyarikatan. Hal ini diwujudkan dengan keseriusan IPM dalam melatih, membimbing, dan mendampingi kader-kader muda (pelajar) untuk iii terus berkembang dan berprestasi. Selain itu, Alhamdulillah di periode ini dengan dikawal Bidang Perkaderan, PP IPM berhasil mewujudkan diterbitkannya pedoman utama perkaderan, yaitu Buku Sistem Perkaderan IPM. Sistem Perkaderan IPM yang baru ini merupakan rangkaian panjang yang digagas dari periode awal pasca kembali ke nama Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Dari Taruna Melati Utama ke Taruna Melati Utama selama kurun waktu enam tahun, akhirnya buku ini dapat diterbitkan. Tentu, Sistem Perkaderan ini adalah wujud penyempurnaan dari SPI-SPI sebelumnya, terutama menilik dari kondisi outworld looking zaman yang terus berkembang yang menuntut pembaruan dalam sistem perkaderan kita. Tema Pelajar Berkemajuan sangat lekat dengan Buku SPI ini, itu artinya, Muhammadiyah sebagai induk gerakan memberikan pengaruh kuat kepada pemikiran IPM. Perkaderan adalah ruh gerakan IPM, apapun yang terjadi di tiap level pimpinan IPM, kita wajib menyelenggarakan perkaderan IPM, yaitu pelatihan kader Taruna Melati. Dari ranting hingga pusat, Taruna Melati merupakan agenda utama dan menjadi program prioritas, minimal setahun sekali tiap level pimpinan wajib menyelenggarakan Taruna Melati. Yang tidak kalah penting untuk mewujudkan kader inti ikatan selain dengan penyelenggaraan Tanura Melati yang baik dan efektif, peran fasilitator atau pendamping pelatihan kader menjadi faktor utama agar pelatihan kader dapat sesuai dengan harapan. Maka dari itu, menyiapkan fasilitator-fasilitator handal menjadi tugas utama disamping penyelenggaraan Taruna Melati itu sendiri. Dengan diterbitkannya Buku Sistem Perkaderan IPM ini, kami mempunyai harapan besar akan keberlangsungan kaderkader IPM. Taruna Melati akan melahirkan kader-kader IPM yang berkualitas sesuai dengan zamannya dan sanggup mewujudkan maksud dan tujuan Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Semoga buku SPI ini dapat diterapkan dan diamalkan oleh Pimpinan IPM di berbagai level pimpinan. Akhirnya, saya ucapkan selamat membaca, menghayati, dan menjalankan Sistem Perkaderan IPM ini. Nȗn Walqalami Wamậ Yasthurȗnậ Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Jakarta, Oktober 2014 Fida ‘Afif NBA: 00.00.12767 v “Baik-buruknya organisasi Muhammadiyah pada masa yang akan datang dapat dilihat dari baik-buruknya pendidikan kader yang sekarang ini dilakukan. Jika pendidikan kader Muhammadiyah sekarang ini baik, maka Muhammadiyah pada masa yang akan datang akan baik. Sebaliknya apabila jelek, maka Muhammadiyah pada masa yang akan datang juga jelek.” ––Prof. Dr. H. A. Mukti Ali Alhamdulillah wasyukrulillah, kami menyambut dengan gembira atas dipenuhinya salah satu amanat Muktamar IPM ke- 18, yakni rekonstruksi (penyusunan ulang) Sistem Perkaderan IPM (SPI). Sesuai dengan bidangnya amanat ini dipercayakan kepada kami bidang Perkaderan, yang kemudian menjadi bagian dari program kerja kami. Sekali lagi, syukur alhamdulillah. Akhirnya amanah besar untuk segera menerbitkan SPI dengan pertolongan dan kekuatan dari Allah, dapatlah terwujud Sistem perkaderan IPM ini. Dimana SPI kehadirannya sangat urgen dan vital bagi keberlangsungan gerakan IPM. Bagi IPM, persoalan kaderisasi merupakan pekerjaan rumah yang tidak akan pernah kunjung selesai (never ending job). Kebutuhan terhadap sistem perkaderan yang tertata dengan baik, rapi, dan feasibel tidak bisa ditunda-tunda lagi. Sistem perkaderan ini bukan saja mempertegas fungsi dan tujuan kaderisasi formal di IPM, tetapi juga memuat format baru perkaderan yang tidak kalah pentingnya bagi kemajuan IPM dan pengembangan sumberdaya manusia yang dimiliki, sebagai gerakan laskar zaman yang selalu menafsir makna dari zaman ke zaman. Istilah kader (Perancis: cadre) atau les cadres memiliki arti staf inti yang menjadi bagian terpilih atau elit strategis gerakan, dalam lingkup dan lingkungan pimpinan (leader) serta mendampingi di sekitar kepemimpinan (leadership). Sebagai kelompok strategis, kader tergolong orang-orang yang terbaik karena terlatih. Kader bisa berarti pula sebagai jantung suatu organisasi. Kader berarti pula pasukan inti. Daya juang pasukan inti ini sangat tergantung dari nilai kadernya yang merupakan tulang punggung, pusat semangat dan etos. Jadi, jelas bahwa orang-orang yang berkualitas itulah yang terpilih dalam berorganisasi yang dapat disebut sebagai kader. Dalam pengertian lain, kader (Latin: quadrum), berarti empat persegi panjang atau kerangka. Dengan demikian kader dapat didefinisikan sebagai kelompok manusia yang menjadi inti dan tulang punggung (kerangka) dari kelompok yang lebih besar dan terorganisasi secara permanen. Kader juga merupakan syarat penting bagi berlangsungnya regenerasi kepemimpinan. Bagi sebuah organisasi IPM, regenerasi kepemimpinan yang sehat karena ditopang oleh keberadaan kader-kader yang qualified, selain akan menjadikan organisasi bergerak dinamis, juga formasi kepemimpinan profetik yang progresif. Secara leksikal, sistem berarti seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. vii (KBBI, 1989: 849). Kemudian tentang perkaderan, pengucapan dan penulisannya sering tertukar dengan pengaderan atau pengkaderan. Sesuai dengan EYD, yang betul memang adalah pengaderan, yakni: proses, cara, perbuatan mendidik atau membentuk seseorang menjadi kader. Namun perlu diingat, dalam “pengaderan” ini, posisi kader atau orang yang ikut dalam training menjadi obyek dan pasif sebagai orang yang dididik atau dibentuk menjadi kader. Oleh karena itu, perkaderan dalam IPM lebih nyaman menggunakan fasilitator dan pendamping. Sedangkan perkaderan, berasal dari kata dasar kader ditambah prefiks nominal per dan sufiks an (perihal, yang berhubungan dengan, antara lain, kader). Dalam “perkaderan”, posisi kader atau orang yang ikut pelatihanmenjadi subyek dan aktif. Jadi, yang pas dipergunakan dalam SPI adalah perkaderan, sebagaimana nama bidang perkaderan.Dengan demikian, Sistem Perkaderan IPM (SPI) berarti: “seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain yang secara logi membentuk kerangka yang berfungsi sebagai pedoman IPM dalam melakukan kaderisasi”. SPI merupakan suatu kesatuan yang utuh, yang berlaku menyeluruh bagi semua jajaran dan komponen IPM. Sebagai sebuah sistem, SPI bukan sekedar konsep dan gagasan saja, tetapi juga mengandung kerangka acuan dan arahan bagi pelaksanaan teknis kegatan kaderisasi. Di dalam SPI terdapat kerangka dasar perkaderan IPM; kurikulum; metode, strategi, dan evaluasi; dan pengorganisasian dalam pelaksanaan kaderisasi. Konsep dan materi dalam SPI 2014 ini relatif ada yang berkelanjutan dan adapula hal-hal baru dan berbeda dengan SPI Hijau 2002. Karena itu ada beberapa hal dalam SPI tersebut yang menuntut perubahan, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi IPM dewasa ini. Karena itu sangat dituntut adanya kesatuan konsep, pemikiran pandangan, sikap dan langkah yang strategis dalam Sistem Perkaderan IPM yang integratif dan interkonektif. Rekonstrusi SPI ini memang bukan tugas yang mudah, karena selain harus berupaya untuk memahami hakikat dan fungsi kaderisasi dalam IPM, juga persinggungan dan konsekuensinya harus bisa dikemukakan dengan jelas dan sekaligus tegas. Sebagai sebuah sistem, kejelasan danketegasan tersebut diperlukan, agar pelaksanaan SPI ini sesuai dengan aturan main dan tertib organisasi. Dalam upaya yang tidak ringan itu, Bidang Perkaderan Pimpinan Pusat IPM telah berikhtiar secara optimal guna menghasilkan SPI baru yang lebih baik dan mudah dilaksanakan oleh seluruh komponen IPM. Di samping meninjau ulang beberapa konsep dasar dalam SPI Merah, SPI Biru, dan SPI Hijau produk zaman sebelumnya, rekonstruksi SPI ini juga telah menegaskan kembali makna dan fungsi perkaderan dalam konteks zaman kekinian dan berkemajuan. Dengan mengkaji artefak dan peninggalan periode terdahulu, sepihan-serpihan konsep pun telah kami kaji. Selanjutnya kami mengadakan dua kali dalam periode ini. Pertama, Seminar dan Lokakarya I (Semiloknas I) Sistem Perkaderan IPM di Madrasah Muallimin Muhammadiyah tanggal 22-25 Desember 2013 di Yogyakarta dan Kedua, Seminar dan Lokakarya II (Semiloknas II) Sistem Perkaderan IPM SMP Muhammadiyah 12 Gresik Kota Baru pada tanggal 15-17 Mei 2014. Dari sinilah konsep SPI dibangun dan menemukan formulanya sebagai sebuah ix sistem perkaderan yang berfungsi sebagai pendukung gerakan IPM, yaitu Gerakan Pelajar Berkemajuan. Sistem Perkaderan IPM (SPI) ini merupakan sistem yang berlaku umum dan resmi dalam IPM. Karena itu, kepada seluruh jajaran Pimpinan IPM, baik ditingkat pusat, wilayah, daerah, cabang, hingga ranting diinstruksikan untuk menerapkan SPI ini dengan sebaik-baiknya. Kami berharap kepada semua pihak untuk sungguh-sungguh berjuang untuk terus dan selalu melakukan kaderisasi di ikatan tercinta ini. Dengan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga pelaksanaan amanat Muktamar ini menjadi kerja amal saleh dan dibalas oleh Allah swt. Amin ya Rabbal ‘Alamin Nȗn Walqalami Wamậ Yasthurȗnậ Bidang Perkaderan Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah Periode 2012-2014 Ketua, dto Lesti Kaslati Siregar NBA: 00.00.16462 Sekretaris, dto Azaki Khoirudin NBA: 00.00.15776 xi xiii Nȗn, Demi Pena dan Segala Yang Dituliskan ––QS. Al-Qalam: 1 “Di dunia ini tak ada yang abadi kecuali perubahan. Perubahan sistem perkaderan dengan demikian merupakan suatu keniscayaan.” ––Dr. Khoiruddin Bashori I k a t a n Pelajar Muhammadiyah (IPM) adalah organisasi kader. Organisasi yang intens bergherak di aras perkaderan. Agar kaderisasi memiliki arah yang jelas, maka IPM menyusun sistematika perkaderan untuk mengatur proses perkaderan. Dalam sejarah IPM, tercatat telah beberapa kali melakukan rekonstruksi sistem perkaderannya. Mengapa SPI diubah? Dalam tubuh IPM dikenal SPI Tomang, SPI Merah Makassar tahun 1986, SPI Biru Malang tahun 1994, SPI Hijau Makassar tahun 2002. Jarak perubahan SPI tersebut mensyaratkan reorientasi dan rekonstruksi pergerakan dalam interval waktu + 10 Tahun. Hal ini dikarenakan dua faktor yakni outworld (perubahan pada realitas sosial) dan inworld (perubahan ide dan wacana pergerakan IPM). Genealogi sistem perkaderan IPM/IRM, dapat dilacak mulai paruh akhir dekade 1980-an. Pada periode ini lahir kodifikasi sistem perkaderan IPM yang pertama atau yang dikenal kemudian sebagai ”SPI Merah”. Sebelum periode itu bukan berarti tidak ada pengkaderan, tetapi dasar yang digunakan masih bersifat berupa serpihan-serpihan konsep perkaderan dan belum disusun sebagai suatu sistem yang komprehensif. Ada juga yang mengatakan sebelum SPI Merah adalah SPI Tomang. Berikut adalah perjalanan SPI dari masa ke masa: SPI Merah lahir di Makassar pada 1985. SPI Merah lahir pada konteks sosial, dimana represi negara orde baru terhadap organisasi masyarakat Islam sedang mencapai puncaknya. Represi ini ditandai oleh kebijakan monoloyalitas. Kebijakan ini mengharuskan setiap orsospol, termasuk Muhammadiyah dan seluruh ortomnya, mengubah asasnya menjadi Pancasila, sebab saat itu hampir sebagian besar orsospol berbasis Islam masih menggunakan Islam sebagai asasnya. Skema kebijakan seperti ini merupakan bagian dari depolitisasi massa dan kebijakan massa mengambang (floating mass) yang dilakukan oleh rezim orde baru. ”Derita” politik inilah, secara psikologis, dirasakan oleh aktivis IPM pada masa itu. Represi ideologis negara membuat sebagian orientasi gerakan pelajar Islam pada masa itu, termasuk IPM, menjadi semakin ideologis. Oleh karena itu, tak mengherankan jika sistem perkaderan IPM pada masa itu bercorak doktriner. SPI institusionalisasi pemikiran gerakan IPM pada zamannya. Pada puncaknya awal 1990-an SPI Merah mendapat kritik. SPI Merah dinilai terlalu doktriner dan terlalu menekan jiwa kritis kader selain itu juga terlalu dogmatis, kurang dialogis, ekslusif dan kurang mencerminkan sebuah sistem pemikiran kader. Pada waktu itu gugatan-gugatan terhadap SPI merah mendapat perlawanan yang luar biasa dari kelompok mayoritas yang ingin tetap mempertahankan tradisi SPI Merah. Karena gencarnya lontaran wacana perubahan SPI Merah, maka sekitar tahun 1993-an gerakan perubahan SPI Merah dan berhasil melahirkan SPI Baru. Berdasarkan hasil Semiloknas SPI di Malang, lahirlah SPI Biru pada tahun 1994. Memasuki era 1990-an, perlakuan negara orde baru terhadap umat Islam mulai memasuki tahap yang lebih akomodatif. Selain karena faktor dukungan politik rezim terhadap umat Islam, tetapi juga sapuan gelombang demokratisasi yang melanda dunia sejak runtuhnya Uni Soviet. Di samping itu, nampaknya kecenderungan sikap politik umat Islam lebih cenderung mengurangi sikap ”ideologis”-nya dan lebih memilih berkompromi terhadap negara. Imbasnya, diskursus sistem perkaderan IPM. ”SPI Merah” mendapat serangan dari sebagian kalangan di IRM/ IPM akibat sifat eksklusif, doktriner dan kurang dialogis dan tidak relevan lagi dengan perkembangan keilmuan dan dunia pendidikan. Alhasil, sekitar1993-an ”SPI Merah” diubah dengan sebutan ”SPI Biru”. Berdasarkan hasil Semiloknas SPI di Malang1994., lahirlah SPI Biru. Menjelang 10 tahun penerapan SPI Biru, beberapa kekurangan ditemukan penerapannya di lapangan. SPI Biru memang terlihat sempurna, namun terkesan terlalu gemuk. Ketika di lapangan, SPI Biru banyak mengalami penyimpangan, seperti TC TM II yang beberapa materinya diambil dari materi TC TM III, penjenjangan yang tidak konsisten dan terlalu berbelit, dan beberapa kekurangan lainnya. Proses rekonstruksi SPI wajar dilakukan dalam siklus 10 tahunan sebagai upaya untuk tetap menyesuaikan proses pengkaderan di IPM dengan semangat zaman. Karena proses pengkaderan merupakan sebuah proses yang terlepas dari realitas sekitarnya. Secara umum SPI Biru banyak menonjolkan hal yang baru dari SPI Merah. SPI Biru merupakan yang terbaik jika dibandingkan dengan gerakan pelajar yang lain di masa itu. Keunggulan SPI ini antara lain, komprehensif, terukur dan banyak mengadopsi perkembangan dalam ilmu pendidikan. Akan tetapi, SPI ini bukan tanpa celah. Sifatnya yang mencakup semua itulah yang membuatnya sangat gemuk, menggelembung dan kurang sistematis. Selain itu, terdapat celah empiris dan teoretis, seperti antara terget, tujuan, materi dan metode pengkaderan banyak ditemuai inkonsistensi. Kurang menerapkan model pendidikan orang dewasa dan partisipatoris (El Hujjaj, 2006). Oleh karena itu, SPI ini pun segera diminta untuk dievaluasi dan menjadi amanat PP IRM periode 2000-2002 untuk menyempurnakannya. Akhirnya, SPI barupun akhirnya lahir yang kemudian disebut sebagai ”SPI Hijau. Pada tahun 1998, SPI Biru mendapat gugatan dari minoritas IRM ditingkat struktur elite. Sampai pada diskursus 2001 dalam Semiloknas SPI di Makassar. Semiloknas ini menghasilkan SPI yang baru yang disahkan dalam Muktamar IRM tahun 2002 yang populis dikenal dengan sebutan SPI Hijau. Beberpa perubahan yang ada didalamnya adalah SPI ini sangat diwarnai oleh wacana Pemikiran Paule Freire yang getol memperjuangkan paradigma Pendidikan Kritis. Sebuah paradigma pendidikan yang mengguna- kan Metode Andragogi (Metode Pendidikan Orang Dewasa) yang lebih humanis dan jauh dari pola doktrinasi serta menggunakan pendekatan Partisipatoris yang mengutamakan peran serta penuh peserta pelatihan sebagai Subyek Pelatihan. Perubahan lainnya adalah penggantian istilah Instruktur sebagai pengelola pelatihan menjadi Fasilitator. ”SPI Hijau” sangat berbeda dengan SPI sebelum-sebelumnya. Bahkan, perubahan itu sangat revolusioner. Ada diskontinuitas dari SPI sebelumnya. Bagaimana tidak, baik dari segi mode of thought, target, metode materi dan pasca pengkaderan sangat berbeda, atau malah tidak ada kelanjutan dari SPI sebelumnya. Ciri utama ialah ANSOS dimasukan dalam materi TM III, bahkan dalam praktinya TM II sudah diberi ANSOS. Materi ini tidak familiar di lingkungan Muahammadiyah/IPM. Materi ini banyak digunakan oleh kawan-kawan di LSM yang bergerak di kegiatan advokasi. Secara kasar, SPI ini dipengaruhi oleh perkembangan nasional pasca reformasi 1998, sehingga SPI ini lebih mencerminkan situasi lebih demokratis, terbuka dan partisipatif. SPI Hijau merupakan titik kulminasi dari perubahan paradigma gerakan IPM ke IRM dari paradigma ”gerakan panggung” menjadi ”gerakan sosial” kritis-transformatif. SPI Hijau banyak mengadopsi pemikiran-pemikiran kontemporer, pendidikan kritis Paulo Freire, tokoh pendidikan Amerika Latin, serta teori sosial kritis Jurgen Habermas. Secara metodologis, SPI Hijau mempunyai kedekatan dengan gagasan dan praktik pendidikan/pelatihan yang digagas oleh Insist, yakni lembaga kajian dan pendidikan yang digawangi oleh Mansour Fakih di Jogjakarta. Maka, tak mengherankan jika kita membaca SPI Hijau serasa kita membaca buku “Pendidikan Popular”-nya Insist. Sejak ditanfidzkannya pada 2004, SPI Hijau telah menjadi rujukan perkaderan. Kendati begitu, masih ada cabang, daerah atau bahkan wilayah yang belum sepenuhnya menerima kehadiran SPI ini. Dalam perjalanan selama kurang lebih lima tahun, level ranting sampai daerah belum sepenuhnya memahami SPI ini, kalau tidak bisa dibilang SPI ini susah untuk dipahami. Sebab, SPI ini tidak praktis, tidak bisa langsung pakai. Berbeda dengan SPI Biru, SPI Hijau kurang bisa di terima di level bawah. Jangankan untuk melakukan need assessement, untuk mencerna istilah-istilah yang ada di SPI saja teman-teman di cabang masih sering mengalami kesusahan. Hal ini wajar karena penyusunan SPI ini memang dilakukan oleh elit di tingkat pusat dan wilayah. Setidaknya ada beberapa yang perlu dibenahi. Pertama, sisi aktor atau pelaksana SPI. SPI Hijau menuntut banyak kemampuan fasilitator dalam melakukan pengkaderan, tetapi sisi aktornya atau fasilitatornya sangat minim untuk diperhatikan. Meski di SPI sudah ada PFP I sampai III, tetapi level pusat sampai daerah sangat jarang menitik beratkan pada pelatihan fasilitator (sesuai SPI). Lucu, ketika TM I sampai TM U-nya sudah memakai SPI Hijau, tetapi pelatihan pengelolanya masih menggunakan SPI Biru, malah ada beberapa daerah dan wilayah, TM-nya sudah banyak mengadopsi model SPI Hijau, PFP-nya masih menggunakan model pelatihan instruktur lengkap dengan materi-materi dan modelmodel indoktrinatifnya. Kedua, pada sisi materi dan target perlu disesuaikan dengan stratak (strategi dan taktik) IPM saat ini. Sebab SPI hijau dilahirkan oleh IRM, yang tentu mempunyai basis yang berbeda dengan IPM. Basis menentukan struktur dan stratak gerakan. Sejauh ini, teman-teman IPM tidak terlalu mengutak-atik paradigma gerakan tetapi hanya merubah strategi dan taktik gerakan. Tapi kini, IPM back to pelajar. Dan menemukan paradigma baru, yaitu “Gerakan Pelajar Berkemajuan”, maka materi pun harus ditinjau ulang. Ketiga, perlu penataan ulang tugas setiap level pimpinan terkait dengan penerjemahan SPI Hijau. Saat ini daerah/cabang/ ranting dibiarkan membaca mentah-mentah SPI tanpa ada penjelasan dari level pimpinan di atasnya dikarenakan memang level diatasnya juga kurang paham dengan SPI atau memang pimpinannya sibuk mengurusi dirinya sendiri. Setidaknya setiap level pimpinan mengeluarkan ”panduan” atau buku pendamping yang sasarannya bagi pimpinan di bawahnya sesuai dengan level pengkaderannya. Sebut saja, SPP (Standart Pelaksanaan Prosedur) TM I bagi ranting dan cabang, SPP TM II dan SPP PFP I bagi daerah dan seterusnya. Keempat, IPM perubahan paradigma gerakan, yakni perspektif dalam melihat realitas disekitarnya. Polemik perubahan dari GKT (Gerakan Kritis-Transfrmatif) ke GPK sudah tuntas, karena GPK (Gerakan Pelajar Kreatif) sudah dievaluasi ternyata hanya sebuah strategi gerakan. Pemahaman paradigma sangat penting untuk positioning (penentuan sikap) IPM.Positioning gerakan terkait dengan relasi masyarakat-negara pada sisi makro, dan karakter pimpinan di sisi mikro. Hambatan penerapan SPI Hijau pun banyak ditemukan di lapangan seperti adanya anggapan bahwa metode yang digunakan akan menghilangkan Militansi Kader. Bahkan religiusitas yang menurun (kesalehan individu dengan Tuhan). SPI Hijau dinilai terlalu aktivis maksudnya ialah aktivis LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan sangat sosialis. Selain itu, timbul beberapa anggapan bahwa SPI Hijau ini hanya cocok diterapkan di Jawa yang kadernya cerdas-cerdas didukung dengan akses bacaan dan sumberdaya manusia yang memadai. Anggapan lainnya, SPI Hijau adalah komoditi bagi orang-orang kota, tidak untuk orang dusun nan di pelosok. Gerakan Pelajar Berkemajuan (GPB) menjadi paradigma baru IPM, tentunya mempengaruhi bagaimana SPI baru akan dirumuskan. Selain SPI Hijau juga sudah berusia lebih 10 tahun sejak dirumuskannya tahun 2002. Sudah saatnya IPM dengan basis masa yang berbeda pula mengevaluasi SPI Hijau dan merumuskan SPI yang baru. Ditambah juga tantangan dan dinamika zaman yang sudah sangat berbeda. Setelah dilakukan dua kali lokakarya SPI, yaitu di Yogyakarta (2013) dan di Gresik Kota Baru (2014), semakin memantapkan langkah IPM itu mengubah SPI-nya. SPI ini dirancang untuk mesuksesnya GPB sebagai gerakan ilmu IPM. Tentunya, ialah keilmuan yang integratif dan interkonektif. Diharapkan mampu menjadi aksentuator cita-cita gerakan Muhammadiyah yaitu Masyarakat Islam Yang Sebenar-benarnya, yang substansinya ialah “peradaban utama”. Peradaban utama tak akan tercapai tanpa gerakan ilmu sebagai alat revolusi kebudayaan. Kini tiba saatnya SPI ini hadir dalam momentum Muktamar XIX IPM di Jakarta melengkapi tema “Spirit Keilmuan untuk Gerakan Pelajar Berkemajuan”. I k a t a n Pelajar Muhammadiyah (IPM) sebagai organisasi gerakan dakwah di kalangan pelajar memiliki etos yang kuat teradap dua hal, yang pertama adalah keislaman, dan yang kedua adalah kemajuan. Subjek yang memiliki etos tersebut adalah pelajar. Maka dari itu, IPM berada dalam posisi mendialogkan masa lalu (tradisi, dogma dan khazanah Islam), kekinian (realitas sosial-ekonomi-kebudayaan yang melingkupi pelajar) dan masa depan (cita-cita sosial Muhammadiyah merealisasikan “Masyarakat Islam Sebenar-benarnya” yang substansinya ialah “Peradaban Utama” di mana kepedulian terhadap pelajar adalah titik berangkatnya). Dengan Gerakan Pelajar Berkemajuan, IPM mendialogkan masa lalu, kekinian dan masa depan tidak hanya akan menghasilkan konsep-konsep, ide-ide atau gagasan-gagasan mengenai Islam dan peta akan realitas kekinian melalui pembacaan sosial dan antisipasi masa depan, tetapi konsep-konsep tersebut harus diinkarnasikan dalam sebuah tubuh yang disebut dengan gerakan. Melalui gerakan inilah IPM bukan sekedar produsen konsepkonsep atau ide-ide, bukan sekedar organisasi an-sich dan bukan pula sekedar penanda bagi kerumunan pelajar yang mempunyai minat yang sama. Disebut sebagai sebuah gerakan, maka IPM paling tidak harus memiliki tiga hal, yaitu paradigma, infrastruktur dan mobilisasi sosial. Walaupun IPM sebagai gerakan, tetapi IPM juga membutuhkan perangkat organisasi, IPM bukan sekedar organisasi. Kalau organisasi an sich biasanya ditandai dengan repetisi, rutinitas (pengulangan-pengulangan yang membosankan dalam hal program, ritual ataupun proyek), maka gerakan adalah sesuatu dialektis-progressif dan dinamis-berkemajuan. Kalau organisasi ada dalam rangka kepentingan dirinya an-sich (opurtunis), maka gerakan ada dalam rangka tujuan yang melampaui dirinya (altruisme progressif). Etos gerakan IPM adalah gerakan yang being for him (ada untuk dia), dimana him di sini adalah basis pelajar. Di sinilah letak pentingnya mengatahui posisi SPI dalam Strukturasi Gerakan IPM. Forum perkaderan tingkat nasional, Taruna Melati Utama (TMU) Bengkulu 2011 di Bengkulu. Pada forum ini membahas kerangka pikir (mode of thought) IPM, terutama pasca perubahan nama IRM kembali ke IPM. Yang kemudian keragka tersebut dinamakan dengan “Strukturasi Gerakan IPM”, mulai dari Falsafah pergerakan, tujuan nilai-nilai gerakan, filsafat perkaderan, SPI, khittah perjuangan, dan agenda aksi untuk mencapai tujuan IPM. Berikut adalah hasil dan gambar restrukturasi gerakan IPM: Perbincangan falsafah pergerakan IPM dikerucutkan pada pemikiran filsafat sejarah, yang diterjemahkan ke dalam tiga unsur sejarah: ruang, waktu, dan epistem sosial (realitas sejarah). Ruang menandakan bahwa gerakan IPM terbatas pada lokasi tertentu dan memiliki karakter tertentu. Oleh sebab itu gerakan IPM harus berpijak pada pemahaman realitas dan kearifan lokal (local wisdom), namun gerakannya universal (mondial, rahmatan lil alamin). Adapun waktu menunjukkan makna gerakan sebagai “proses menuju “ (beyond, berkemajuan) ummat (komunitas) yang terbaik (khoiru ummah). Untuk menjadi gerakan terbaik, maka IPM harus memperhatikan “epistem sosial” sebagai unsur kebudayaan dominan dalam masyarakat. Hakikat inti (falsafah) gerakan IPM ialah gerakan iqra’(ilmu) , IPM bergerak dengan memperhatikan realitas sebagai “titik pijak” sebagai substasi “Nûn, wal qalami wamâ yasthurûn”. Sebagaimana prinsip falsafah pergerakan IPM, tentunya IPM bergerak memperhatikan ruang (dimana), waktu (kapan) serta epistem sosial (kondisi masyarakat) sebagai titik pijak gerakannya. Dalam perjalanan sejarah IPM telah mengalami dinamika sebagai gerakan. Berawal dari Paradigma Tiga Tertib, yaitu Ibadah, Belajar, dan Berorganisasi. Pada babak berikutnya IPM memiliki Gerakan Kritis-Transformatif dan yang terahir ialah Gerakan Pelajar Berkemajuan. Semua paradigma ini menentukan sikap IPM ketika berhadapan dengan realitas sosial dan kebudayaan dalam kehidupan. Setelah kembalinya nama IRM ke IPM, pada babak selanjutnya IPM berkomitmen kuat untuk melakukan gerakan ilmu. Gerakan ilmu dalam Muhammadiyah disebut Gerakan pencerahan (tanwir) merupakan praksis Islam yang berkemajuan untuk memberdayakan, dan memajukan kehidupan. Bagi IPM, gerakan ilmu sebagai praksis Gerakan Pelajar Berkemajuan dengan tiga pilarnya, yaitu “Pencerdasan, Pemberdayaan, dan Pembebasan pelajar dari problematikanya. Gerakan ilmu dihadirkan untuk memberikan jawaban atas problem-problem kemanusiaan pelajar, berupa kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan persoalan-persoalan lainnya yang bercorak struktural dan kultural Khittah berisi tentang etos perjuangan IPM. Pertama, DasarDasar Kepercayaan IPM, bahwa Tauhid adalah inti dari setiap ajaran Islam dan keimanan yang benar kepada Allah. Adapun prinsip ketuhanan, yaitu: Kesatuan penciptaan (Unity of creation) Kesatuan kemanusiaan (unity of mankind) Kesatuan pedoman hidup berdasarkan agama wahyu (unity of guidance) Kesatuan tujuan hidup (unity of the purpose of life). Implementasi tauhid ditafsirkan sebagai jalan menuju: Pencerahan, Pembebasan, dan Kesemestaan/Universality. Dalam mengolah, menata dan menentukan sikap gerakan IPM, Islam sebagai penjelasan kerangka nalar dari pola wujud asas organisasi ditransformasikan dengan titik tekan atas; Ketuhanan/Ketauhidan, Pendidikan (Tarbiyah, Education) serta Kemanusiaan dan Kebudayaan. Perangkat metodologis dalam menerjemahkan sumber-sumber (asas-asas) normatif gerakan IPM, yaitu dakwah amar ma’ruf nahi munkar (Q.S 3:104 untuk menuju pada religiutas/kehidupan keagamaan, pemanusiaan (humanizing) dan transformatif. Sebuah gerakan, IPM memiliki nilai-nilai perjuangan untuk mencapai tujuannya. Jika dalam SPI Hijau menjelaskan bahwa inti dari paradigma IPM (Manifesto Gerakan Kritis-Transformatif) adalah kritis dan keadilan sosial (kritisisme). Dalam SPI ini dengan paradigma Gerakan Pelajar Berkemajuan, intisari atau orientasi ideologi IPM ialah “pandangan Islam Berkemajuan”. IPM sebagai gerakan pelajar memperjuangkan nilai-nilai kemajuan Islam. Pertama, ketahuidan, yaitu etos pengabdian kepada Allah. Kedua, keilmuan, yaitu etos pengabdian kepada pengetahuan. Ketiga, kemandirian, yaitu etos pengabdian kepada diri sendiri. Keempat, nilai kekaderan, yaitu etos pengabdian kepada sesama. IPM dalam berjuang harus pewarisan nilai perjuangan atau kesinambungan gerakan. Kelima, nilai kemanusiaan, yaitu Etos Pengabdian kepada Semesta (rahmatan lil alamin). Semua itu dalam rangka menuju “Masyarakat Islam Yang Sebenar-benarnya” (MIYS) atau “Masyarakat Utama”. Secara ontologis perkaderan IPM ialah tarbiyah (education, menumbuhkan, memelihara) dan da’wah (mengajak, mengubah). KH Ahmad Dahlan memberikan rumusan ontologis tentang hakikat manusia yang memiliki “kehendak” dan “kebebasan” dengan fitrah. Karena fitrah (potensi), maka harus ditumbuhkan (tarbiyah) (Muarif, 2013). Terakhir, hakekat perkaderan di mata KH Ahmad Dahlan sebagai jalan untuk mencapai tujuan manusia di dunia dan akhirat). Selanjutnya, epistemologi perkaderan IPM dapat diambil dari gagasan KH Ahmad Dahlan tentang “agama nalar” dan “Islam berkemajuan”. Dalam gagasan “agama nalar”, akal merupakan alat untuk memahami ajaran Islam. Akal menjadi sumber ilmu pengetahuan manusia setelah wahyu. Iqra’ sebagai manifestasi penggunaan akal secara optimal dalam proses kaderisasi. Proses ini disebut dengan enlightment (pencerahan, at-tanwirul qulub wal uqul). Dengan konsep Islam berkemajuan, KH. Ahmad Dahlan berhasil melakukan gerakan amaliyah dengan paradigma integrasi-interkoneksi ilmu. Pemahaman terhadap ajaran Islam tidak ada yang mutlak, tetapi relatif mengikuti perkembangan zaman. Adapun, tinjauan aksiologi, meminjam George F. Kneller (1964: 26), nilai-nilai itu berada dalam segala aspek perkaderan. Aksiologis, pemikiran KH Ahmad Dahlan tentang “agama nalar”, “persatuan manusia”, dan “Islam berkemajuan” telah memberikan rumusan nilai yang tidak dapat dipisahkan antara ilmu dan tanggung jawab praksisme-gerakan IPM. Seperangkat komponen atau unsur (materi, metode, evaluasi, dan lain sebagainya) yang membentuk proses dalam kaderisasi IPM. Karena perkaderan adalah proses kaderisasi, maka segala aktivitas kader mengarah kepada tujuan IPM dan menyukseskan gerakan IPM. Ada perbedaan konsekuensi antara kader dan anggota. Karena kader ialah manusia elite dan terpilih. Di siniah letak urgensi SPI dirumuskan untuk membentuk bagaimana desain kader yang dibangun sesuai dengan cita-cita gerakan. 1. Sosialisasi SPI 2. Distribusi SPI 3. Uji Materiil (Pelaksanaan) 4. Pengawasan Pendampingan       Nûn, Demi Pena dan Apa yang Mereka Tulis. Kata kunci yang dapat ditarik dari ayat tersebut ialah Tinta, Pena, dan Tulisan. Tinta berarti tradisi membaca, melek realitas (teks, hadlarah al-nash), pena berarti tradisi mengikat ilmu atau etos kerja keilmuan (sain, hadlarah al-‘ilm), dan tulisan berarti menyebar dan mengamalkan ilmu pengetahuan sesuai dengan isu dan masalah yang berkembang dan aktual (etika, hadlarah al-falsafah). Gerakan IPM dituntut untuk mengembangkan perkaderan perspektif Qur’ani, yakni perkaderan yang utuh, yang menyeluruh domain, baik ilmu (kognitif), amal (psokomotorik), akhlak (afektif), bahkan iman (spiritualitas). Harapannya adalah kader yang dikonstruksi IPM melalui SPI ini adalah kaderisasi yang intergatif (nȗn), transformative (al-qalam), dan actual (yasthurȗn). Dasar filosofis perkaderan IPM dapat kita ambil dari pesan Kyai Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya. Kiyai berpetuah: Dadiyo kijahi sing kemadjoen, ojo kesel anggomu nyambut gawe kanggo Moehammadijah. Jadilah kyai yang berkemajuan, jangan pernah letih berjuang untuk Muhammadiyah. Pesan tersebut mengandung tiga makna filosofis sebagai dasar paradigma gerakan dan falsafah perkaderan IPM. Pertama, kata “kiyai” mengandung pesan keislaman-keulamaan, dan religiusitas-spiritual serta kedalaman dan kesadaran ketuhanan yang tinggi. Kedua, kata “berkemajuan” mengandung makna berpikir ke kedepan atau progresif dan keluasan pandangan. Jelas, menjadi sebuah kewajiban untuk memiliki keluasan pandangan dan cakrawala berpikir. Semuanya itu untuk mengangkat harkat dan martabat peradaban umat manusia. Ketiga, ojo kesel anggomu nyambut gawe kanggo Moehammadijah” memiliki makna etos kerja, keluwesan bertindak, dan militansi. Hal ini penting untuk menjadi arah dan orientasi untuk kaderisasi IPM. Lokus gerakan dan basis massa IPM perlu menjadi landasan kultural dan diperhatikan dalam perumusan perkaderan IPM. Mayoritas basis massa IPM ialah pelajar Indonesia, sementara Islam bersifat universal tidak hanya di Arab. Bukan Islam arab, tetapi Islam yang berkeindonesiaan. Sebagai gerakan dakwah pelajar, dalam tubuh IPM melekat sekali antara keislaman dan kemajuan. Sebagai organisasi kader di bawah naungan Muhammadiyah pasti berhadapan dengan persoalan kesenjangan budaya, yakni budaya lokal dan budaya global. Oleh sebab itu, perkaderan IPM tidak mungkin mengabaikan budaya lokal sebagai basis kultural, baik dalam menerjemahkan nilai Islam maupun gerakan pengembangan ilmu pengetahuan. Sehingga agama dan ilmu pengetahuan memiliki fungsi dalam kehidupan nyata. Secara sosiologis, masyarakat Indonesia terdiri dari beragam ras, suku, budaya, dan agama. Keberagaman sering melahirkan konfliks yang mengancam persatuan (integrasi) bangsa. Secara teologis, tidak ada agama maupun budaya manapun yang membenarkan perilaku agresif terhadap orang lain. Penafsiran keagamaan yang skripturalistik-tekstualis, lepas dari konteks kekinian tidak jarang melahirkan kader IPM yang tidak mampu menyelesaikan konfliks di masyarakat. Hal ini, bisa terjadi karena sistem perkaderan IPM yang cederung mengembangkan materi keislaman, kemuhammadiyaan dan keipman yang terpisah dari konteks keragaman pelajar Indonesia dan konteks global. IPM perlu menata kembali struktur materi perkaderan yang lebih integratif dan interkonektif sesuai dengan perkembangan paradigma masyarakat dan tubuh IPM sendiri. Secara psikologis, sistem perkaderan IPM dibuat untuk mensukseskan paradigma gerakannya, yang merupakan respon realitas pada zamannya. Dengan “Gerakan Pelajar Berkemajuan” (GPB) IPM menjadikan al-Quran dan al-Sunnah sebagai alat untuk membaca realitas dengan alat bantu ilmu pengetahuan sain, untuk merespon permasalahan kehidupan sehari-hari dengan prinsip etika yang obyektif. Pembacaan realitas dunia secara pasrsial serta ekslusif terhadap tiga ranah kelimuan, secara psikologis akan membahayakan. Apa yang diyakini IPM (hadlarah al-Nash) tidak seharusnya berbeda dengan ilmu (hadlarah al-‘ilm), dan juga tidak boleh bertentangan dengan realitas yang dihadapi sehari-hari (hadlarah al-falsafah). Pertentangan ketiga ranah tersebut akan melahirkan personality disorder (keterpecahan kepribadian) seorang kader. Kader yang diharapkan IPM adalah generasi global yang berjiwa Islam Berkemajuan. Sosok ideal kader IPM ialah pelajar berkemajuan. Tujuan perkaderan adalah batas akhir yang dicitacitakan dalam usaha perkaderan IPM, yaitu mewujudkan tujuan gerakan IPM. Dengan ditunjukkan adanya perubah-an yang diinginkan dan diusahakan oleh proses perka-deran, baik pada akhlak individu, dalam kehidupan pri-badi atau kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya. Tujuan perkaderan IPM yaitu membentuk kader IPM yang kreatif dalam menganalisis dan menangani problem-problem kemanusiaan pelajar di era globalisasi dengan dikuasainya berbagai pendekatan keilmuan, serta dilandasi dengan etika Islam yang obyektif dan alQur’an dan al-Sunnah. Semua tindakannya dilakukan untuk kemanusiaan tanpa memandang etnis, suku, ras, golongan, dan agama. Ruang lingkup meteri perkaderan, terutama al-Islam dan Kemuhammadiyahan selama ini berkisar al-Qur’an dan al-Hadits, Fiqih, Akhlak, dan Kemuhammadiyahan. Kelebihan materi ini adalah sifatnya yang akademik, sedangkan kelemahannya adalah kurang memfungsikan agama sebagai landasan moral, motivasi hidup, dan spiritualitas dalam menghadapi persoalan kehidupan. Materi perkaderan IPM di sini mengedepankan aspek humanistik (kemanusiaan) dan integratif dengan cara mengintegrasikan al-Islam, Kemuhammadiyahan, dan Keipman dengan berbagai dimensi kehidupan pelajar. Perkaderan IPM menerapkan pola kurikulum berbasis integrasi dan interkoneksi paradigma keilmuan, yaitu Hadharah Nash, Hadlarah al-Ilm, dan Hadlarah ak-Falsafah, sehingga dibagi menjadi materi Ideologis, materi metodologis, dan materi wawasanskill, Keislaman  Al-Qur’an dan al-Hadits  Ibadah  Akhlak dan Tasawuf Kemuhammadiyahan  Sejarah Muhammadiyah, Pemikiran dan Ajaran KH. Ahmad Dahlan  Manhaj Tarjih Muhammadiyah  Masailul Khomsah (Masalah Lima) Muhammadiyah  Muqadimah Aanggaran Dasar Muhammadiyah  Kepribadian Muhammadiyah  Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM)  Dakwah Kultural Muhammadiyah  Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah (GJDJ)  Khittah Perjuangan Muhammadiyah: Palembang, Dempasar, dan Ponorogo  Tafsir 12 Langkah Muhammadiyah  Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah  Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyyah’Abra Qarn min al-Zamãn Ke-IPM-an  Sejarah IPM  Identitas Gerakan IPM  Tiga T (Tertib Ibadah, Tertib Belajar, dan Tertib Berorganisasi)  Khittah Perjuangan  Muqaddimah AD/ART  Kepribadian IPM  Lokus Gerakan dan Basis Massa  Kepribadian Kader  Manifesto Gerakan Kritis-Transformatif  Gerakan Pelajar Kreatif: Strategi Kreatif  Gerakan Pelajar Berkemajuan: Paradigma Gerakan Ilmu  Filsafat Ilmu  Filsafat Umum  Filsafat Islam  Gerakan Sosial Baru  Teori Sosial  Metodologi Analisis Sosial  Riset Pendekatan Appresiatif Inquiry  Teori-teori Pendidikan Kepemimpinan dan Keorganisasian  Manajemen Organisasi  Administrasi Kesekretariatan dan Keuangan Isu-isu/Problem Sosial-Budaya  Gender  Hak Asasi Manusia  Kebijakan Pendidikan  Lingkungan Hidup Muatan Lokal  Firqah-firqah Islam  Mengenal Pemikiran Tokoh a. Pendekatan Paedagogis-Apresiatif Metode Paedagogis pada prinsipnya menekankan pada pengisian materi atau bahan yang telah direncanakan secara lebih sepihak dari fasilitator dan penceramah kepada peserta. Dalam bahasa umum disebut dengan pendekatan yang menekankan pada internalisasi (ideologisasi), pengetahuan, nilai-nilai, pola-pola sikap dan perilaku, serta keterampilan dari subyek pendidik (fasilitator) kepada obyek didik (peserta). Ciri-ciri metode Paedagogis antara lain:  Bersifat indoktrinasi  Materi yang disajikan merupakan paket yang direncanakan  Tekhnik yang diterapkan lebih sepihak, yakni dari fasilitator atau pemateri untuk peserta/ sasaran b. Pendekatan Andragogis-Partisipatif Metode Andragogis adalah kebalikan dari paedagogis, yakni metode yang lebih menekankan pada pengembangan peserta secara lebih partisipatif sesuai dengan potensi, kebutuhan dan masalah yang dihadapi oleh peserta. Jadi sifatnya merangsang keterlibatan aktif (partisipasi) peserta, bukan indoktrintif. Ciri-ciri metode Andragogis antara lain:  Bersifat partisipasi, artinya peserta secara maksimal terlibat aktif dalam proses perkaderan  Materi direncanakan sendiri oleh peserta secara musyawarah/diskusi aktif  Hubungan antara pelatih/instruktur dan peserta/ partisipasipan bersifat pelayanan, dalam hal ini peserta dipandang sebagai manusia dewasa yang berpotensi  Tehnik yang diterapkan bersifat demokrasi, yakni dari peserta untuk peserta. c. Pendekatan Dialogis-Inklusif Dialogis karena tidak ada lagi guru atau murid, maka proses yang berlangsung bukan lagi proses “mengajar-belajar” yang bersifat satu arah, tetapi proses “multi-komunikasi” (intersubyektif) dalam berbagai bentuk kegiatan dan media yang lebih memungkinkan terjadinya dialog kritis antar semua orang yang terlibat dalam proses pelatihan tersebut. Ciri-ciri metode coperatif antara lain:  Tidak Menggurui  Tak ada “guru” dan tak ada “murid yang digurui  Fungsi guru adalah sebagai “fasilitator”, dan bukan mengguri.  Hubungan antara guru-murid bersifat ‘multicommunication’ dan seterusnya. Metode dalam perkaderan IPM menduduki posisi sangat penting. Hal ini dapat dilihat dari kata-kata berikut; “At-tariiqatu ahammu min al-maddah, alustaadzu ahammu min al-thariiqah, wa tilmidlu ahammu min al-ustadz” (metode lebih penting dari materi, guru lebih penting dari metode, dan murid lebih penting dari guru). Kiai Ahmad Dahlan menyatakan “Jadilah Guru Sekaligus Murid”, maka dari itu IPM menggunakan metode koperatif. Metode koperatif ialah metode berbasis pada sosial. Manusia sebagai makhluk sosial yang punya hubungan interaktif satu sama lain.. Ada lima unsur dalam metode koperatif: a. Positive interdependence (saling ketergantungan positif) b. Personal resposibility (tanggungjawab perseorangan) c. Face to face promotive interaction (interaksi promotif) d. Interpersonal skill (komunikasi antar-anggota) e. Group processing (pemrosesan kelompok) Teknik Metode Koperatif  Jigsaw  Think-Pair-Share  Numbered Heads Together  Group Investigation  Two Stay dan Two Stray  Make and Match  Listening Team  Inside-Outside Circle  Bamboo Dancing  Point-Counter-Point  The Power of Two Terdapat enam jenis dasar dari media yaitu: Secanggih apapun kemajuan di bidang teknologi, peran fasilitator dan pendamping tetap penting dan tidak pernah tergantikan. Sebagai role model, fasilitator dan pendamping dituntut untuk memiliki integritas moral (kepribadian kader), intelektual-keilmuan, dan spiritualitas yang tinggi, sehingga mempu menjadi uswatun hasanah yang mampu mengilhami, mengispirasi dan mencerahkan. Fasilitator dan pendamping adalah tim yang berfungsi untuk menangani langsung pengelolaan perkaderan sesuai dengan tingkat masing-masing komponen dan jenjang pengkaderan.  Fasilitator Pelatihan Kader Dasar Taruna Melati Taruna Melati Satu (PKDTM_I) adalah mereka yang telah mengikuti Taruna Melati I dan Pelatihan fasilitaor dan Pendamping (PFP) I oleh PD IPM.  Fasilitator Pelatihan Kader Muda Taruna Melati Dua (PKMTM_II) adalah mereka yang telah mengikuti Taruna Melati II dan Pelatihan Fasilitaor dan Pendamping (PFP) II yang diadakan PW IPM.  Fasilitator Pelatihan Kader Madya Taruna Melati Tiga (PKMTM III), adalah mereka yang telah mengikuti Taru-na Melati III dan Pelatihan Fasilitaor dan Pendamping (PFP) II yang diadakan oleh PW IPM.  Fasilitator Pelatihan Kader Paripurna Taruna Melati Empat (PKPTM IV), adalah mereka yang telah mengikuti Taruna Melati Paripurna. Tim Fasilitator terdiri atas:  Master of Training  Imam of Training  Pembantu Fasilitator a. Master of Training:  Merumuskan kerangka acuan pelaksanaan program training sebagai arah dan strategi training.  Merancang jadwal kerja dan persiapan teknis lainnya.  Mengkoordinasikan implementasi arah dan strategi training.  Mengatur fungsionalitas kerja tim.  Mengendalikan program training sesuai dengan standar kualitas yang telah ditetapkan.  Mengevaluasi dan memberikan laporan kepada pihak-pihak yang terkait. b. Imam of Training:  Penanggung jawab pembinaan pelaksanan ibadah mahdoh (tertib beribadah).  Penanggung jawab pembinaan akhlak peserta. b. Anggota Fasilitator:  Menyiapkan instrument  Memimpin acara dan membantu peserta dalam memahami isi materi  Membuat berita acara dalam setiap sesi.  Membimbing peserta dan mengamati perkembangannya.  Membina ukhuwah antar peserta.  Mengevaluasi Di era teknologi, informasi, dan komunikasi yang begitu cepat, dan ke depan tentunya akan semakin canggih. Kedudukan peserta adalah sebagai subyek, aktor, mitra fasilitator, bukan obyek. Keberhasilan perkaderan akan sangat ditentukan oleh kualitas pesertanya. Dalam perkaderan IPM, peserta adalah setiap anggota IPM. Dalam memilih anggota yang diikutsertakan dalam pengkaderan IPM diutamakan bagi mereka yang memiliki kesadaran untuk mengikuti pengkaderan. a. Pengkaderan tingkat satu adalah 50% dari jumlah anggota. b. Pengkaderan tingkat dua adalah 25% dari jumlah anggota. c. Pengkaderan tingkat tiga adalah 5% dari jumlah anggota. d. Pengkaderan tingkat utama adalah 0,25% dari jumlah anggota Untuk kriteria jumlah (kuantitas) dan mutu (kualitas) peserta pada masing-masing komponen dan jenjang pengkaderan ditentukan berdasar kekhususan dan kepentingan masing-masing. Yang menjadi sasaran dalam pengembangan di dalam pelaksanaan pengkaderan pada umumnya meliputi lima aspek: a. Iman Yakni aspek kejiwaan dan spiritual. Antara lain; aspek semangat, motivasi, kesungguhan, keberanian, kesadaran, tanggung jawab dan aspek-aspek mental serta sikap lainnya. b. Akhlak Yakni aspek tingkah laku atau tindakan sehari-hari. Antara lain; moral lisan atau perkataan, perbuatan, disiplin, hubungan antar sesama, kreatifitas, sopan santun dan lain-lain. c. Amal Yakni aspek kemampuan berketrampilan (skill) Antara lain; ketrampilan memimpin, memecahkan masalah, manajemen, berolahraga, berkomunikasi, dan keterampilan yang bersifat teknis lainnya. d. Ilmu Yakni aspek nalar atau intelektualitas, penguasaan pengetahuan dan informasi. Antara lain; kecerdasan berfikir, ketajaman pengamatan, ketepatan analisa, daya kritis dan lain-lainnya. keluasan wawasan, perbendaharaan ilmu keagamaan, keorganisasian dan ke-Muhammadiyahan serta bidang-bidang ilmu pengetahuan dan informasi lain yang sifatnya umum. Yaitu suatu komponen awal yang berfungsi untuk mengenalkan dan IPM sekaligus sebagai wahana recruitmen anggota serta sebagai persiapan untuk memasuki perkaderan Pelatian Kader Dasar Taruna Melati 1. Komponen pra perkaderan ini selanjutnya disebut Forum Taaruf dan Orientasi (FORTASI) atau Malam Bina Calon anggota (MABICA) di ranting selain sekolah. Yaitu komponen utama yang bersifat wajib dan merupakan komponen pokok perkaderan IPM. Komponen ini bersifat mengikat dan secara struktural menjadi prasyarat tertentu. Secara berjenjang, perkaderan utama terdiri dari tingkatan-tingkatan sebagai berikut: a. Pelatihan Kader Dasar Taruna Melati Satu b. Pelatihan Kader Muda Taruna Melati Dua c. Pelatihan Kader Madya Taruna Melati Tiga d. Pelatihan Kader Paripurna Taruna Melati Utama Yaitu komponen perkaderan yang ditujukan dalam rangka mendukung komponen utama dengan pendekatan khusus. Komponen ini dilaksanakan dalam rangka meningkatkan kemampuan, ketrampilan dan kecakapan khusus. Komponen perkaderan khusus terdiri dari: a. Pelatihan Fasilitator Daerah b. Pelatihan Fasilitator Wilayah Yaitu komponen perkaderan yang dilaksanakan untuk meningkatkan potensi kader sesuai dengan minat, bakat, ketrampilan, keahlian dan kemampuan dalam rangka mendukung keberhasilan proses kaderisasi ikatan. Komponen perkaderan pendukung dilaksanakan secara integral dengan pelaksanakan aktivitas dan program organisasi itu sendiri. Keberhasilan kegiatan perkaderan secara teknis, tidak tepisahkan dari peran dan tanggungjawab panitian penyelenggara kegiatan perkaderan: a. Penanggung jawab Pelatihan Kader Taruna Melati Dasar Pimpinan Cabang/Pimpinan Ranting. b. Penanggung jawab Pelatihan Kader Taruna Melati Muda adalah Pimpinan Daerah. c. Penanggung jawab Pelatihan Kader Taruna Melati Madya adalah Pimpinan Wilayah. d. Penanggung jawab Pelatihan Kader Taruna Melati Paripurna adalah Pimpinan Pusat. a. Sebagai pimpinan yang berhak dan bertanggung jawab secara umum terhadap proses perkaderan. b. Sebagai pemegang hak pemberian mandat dalam pengelolaan teknis pelaksanaan perkaderan. Yakni pihak yang diberi mandat atau dibentuk oleh penanggung jawab untuk menangani pelaksanaan teknis dan kepanitiaan pelaksanaan pengkaderan. Pimpinan IPM ditingkat bawah atau tim yang dibentuk oleh penanggung jawab sebagai panitia pelaksana. Tugas dan Wewenang: a. Wewenang Panitia  Bertanggung jawab dalam bidang kepanitiaan  Bertanggung jawab kepada pemberi mandat/ penanggung jawab. b. Tugas Panitia  Pengadaan makalah  Penyiapan fasilitas sarana dan prasarana  Pengadaan dan pelayanan Konsumsi.  Penyediaan Logistik Fasilitas pengkaderan IPM adalah segala kemudahan yang terdiri atas prasarana, sarana, dan dana.  Ruang materi  Mushalla  Ruang tidur  Ruang makan  Kamar mandi/WC  Alat-alat tulis  Sound system, dan lain-lain  Sponsor dan Donatur Lingkungan pengkaderan IPM adalah suasana sekitar dimana suatu kegiatan pengkaderan dilakukan, baik di lingkungan fisik maupun non-fisik. Dalam pengembangan perkaderan perlu memperhatikan empat pilar lingkungan perkaderan. Pusat perkaderan harus menyatukan komponen keluarga, sekolah, masyarakat, dan masjid. 1. Keluarga : penanaman akhlak, etika dan moral 2. Sekolah : pengembangan intelektualitas dan tradisi ilmiah 3. Masyarakat : penumbuhan sikap sosial dan praksisamaliyah 4. Masjid : pembiasaan dan penghayatan kesadaran spiritualitas dan ketuhanan Proses pengkaderan IPM adalah aspek yang sangat menentukan keberhasilan pelaksaan pengkaderan IPM. Dalam hal ini dikenal adanya tiga tahapan proses yang antara satu dengan yang lainnya merupakan kesatuan yang sangat erat dan saling mempengaruhi. Ketiga tahapan proses tersebut meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan dan tindak lanjut (follow up). a. Persiapan yang dilakukan oleh penanggung jawab:  Rapat pimpinan penanggung jawab guna menentukan rencana dan langkah pelasanaan.  Menyampaikan informasi.  Menyiapkan tim fasilitator dan panitia pelaksana. b. Persiapan yang dilakukan oleh tim Fasilitator dan Pendamping:  Analisis kebutuhan organisasi dan peserta.  Menyusun rencana pengelolaan perkaderan dengan membuat alur yang sistematis.  Identifikasi calon peserta.  Penetapan jadwal.  Menghubungi pembicara.  Membuat term of reference, silabus, dan RPP.  Pembagian tugas c. Persiapan yang dilakukan oleh panitia pelaksana:  Pengadaan makalah.  Penyiapan fasilitas.  Pengecekan terakhir menjelang pelaksanaan dan mengadakan pembenahan-pembenahan dimana perlu. a. Pelaksanaan Acara: Sedapat mungkin urut-urutan jadwal sesuai dengan rencana. Jika hal tersebut tidak mungkin maka dapat digeser sepanjang urut-urutan penyajiannya tetap logis. Jika pembicara tidak hadir, maka acara diisi oleh instruktur, untuk itu instruktur harus senantiasa siap. b. Pengelolaan dan pembinaan peserta secara kelompok dan atau individual. c. Evaluasi peserta, penceramah, fasilitator dan kepanitiaan. Proses terpenting pasca pelatihan adalah proses tindak lanjut dan pendampingan. Oleh karena itu, pada perkaderan diperlukan langkah-langkah pendampingan dan tindak lanjut sebagai berikut: Pengukuhan Tim Pendampingan, Pendayagunaan dan Aktivitas Pendampingan. Tahap ini meliputi: a. Evaluasi tingkat keberhasilan peserta dalam pelaksanaan. b. Penugasan peserta. c. Pertemuan berkala. d. Monitoring aktivitas peserta hingga saat penetapan. e. Penentuan hasil akhir sesuai batas waktu masingmasing komponen dan jenjang pengkaderan. f. Penyerahan syahadah. g. Transformasi kader di seluruh lini ikatan. Evaluasi perkaderan adalah suatu teknik penilaian yang dimaksudkan untuk mengetahui hasil yang telah dicapai dalam suatu kegiatan perkaderan. Evaluasi dilakukan untuk menilai pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan serta menilai proses pelaksanaan perkaderan secara keseluruhan. Keberhasilan suatu kegiatan pelatihan dapat dinilai dari proses, input, dan out put. Untuk evaluasi proses yaitu evaluasi pra-pelatihan, pelatihan dan pasca-pelatihan. Evaluasi pra-pelatihan melalui need assessment dan sosialisasi, waktu pelatihan melalui evaluasi input (sumatif) yaitu evaluasi yang mengukur tingkat pemahaman peserta terhadap materi yang disajikan dengan menggunakan instrumen pre dan post kontrak belajar, dan pasca-pelatihan melalui uji out put melalui follow up dan dilaporkan melalui yudisium. Adapun parameter keberhasilannya akan diukur melalui: Evaluasi ini diberikan setelah dilakukannya need assessment dan sosialisasi. Evaluasi di sini dimaksudkan untuk mendapatkan atau menilai kebutuhan materi dalam pelaksanaan pelatihan. Adapun evaluasi pra pelatihan antara lain meliputi: Fasilitator akan menilai aspek ini , dari segi apakah warga belajar akan dapat memahami materi sesuai dengan kontrak belajar, lalu dapat mengimplementasikan dalam aktifitas-aktifitas selama pelatihan (baik dari segi penugasan, games, bermain peran, sharing, dll.). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh ilustrasi (mengukur tingkat pengetahuan) sampai sejauh mana tujuan masing-masing materi pelatihan (modul) dapat tercapai. Bahan evaluasinya mencakup semua materi pelatihan yang diberikan. Keberhasilan suatu pelatihan dalam definisi proses justru sangat ditentukan oleh pasca pelatihan itu sendiri. Evaluasi pasca pelatihan ini meliputi: a. Konsistensi antara agenda follow up yang meliputi: 1) Tugas pribad. 2) Tugas kelompok atau tugas warga belajar pasca-pelatihan dengan praktik mereka semua pasca-pelatihan. b. Inovasi, yaitu seberapa jauh warga belajar mampu memberikan pengembangan aktivitas yang mendukung target pelatihan di luar agenda follow up. a. Fungsi administrasi:  Berguna sebagai penyusunan laporan perkaderan. b. Fungsi Kelembagaan:  Sebagai laporan dari pengelola kepada penanggung jawab. c. Fungsi Peserta:  Sebagai ukuran tingkat penguasaan bahan/ materi yang telah didapatsebagai bahan untuk mengetahui tingkat perkembangan diri peserta.  Sebagai bahan perbaikan lebih lanjut dalam peningkatan kualitas peserta.  Sebagai bahan untuk mengidentifikasi kualitas peserta.  Sebagai dasar penentuan kelulusan/keberhasilan peserta. d. Fungsi Fasilitator:  Sebagai bahan untuk menilai tingkat keberhasilan pengelolaan  Sebagai bahan-bahan umpan balik untuk pengelolaan berikutnya. e. Fungsi Pelaksana:  Sebagai bahan untuk menilai tingkat keberhasilan tugas-tugas kepanitiaan.  Sebagai umpan balik bagi kepanitiaan berikutnya. a. Peserta: Penilaian dapat digunakan secara lisan dan tulis. Penilaian non-test bisa berupa paper, partisipasi kelas, laporan, presentasi, portofolio, performance, dan project. Ada empat domain yang dievaluasi dalam proser perkaderan IPM, yaitu ilmu amal, akhlak, dan iman, sebagaimana dalam tabel berikut:                                      Tabel: Komponen Evaluasi Peserta b. Pembicara:  Penguasaan materi  Bobot materi yang disampaikan  Cara penyajian c. Fasilitator:  Penguasaan Materi  Kepemimpinan dan Keteladanan  Kemampuan Komunikasi d. Panitia:  Ketepatan Jadwal  Penyediaan Sarana & Prasarana  Manajemen Kerja Panitia Pelaksana a. Peserta oleh: Fasilitator b. Pemateri oleh: Peserta dan Fasilitator c. Fasilitator oleh: Peserta dan Sesama Fasilitator d. Panitia oleh: Peserta, Fasilitator, Penanggung jawab Demikianlah gambaran umum tentang perkaderan IPM yang dirangkum dalam Sistem Perkaderan IPM. Semoga mampu menjadikan landasan operasional dan prosedur dalam melakukan kaderisasi di seluruh jenjang perkaderan IPM. P e l a t i h a n Kader Taruna Melati I adalah proses awal atau dasar dari perkaderan Ikatan Pelajar Muhammadiyah menuju jenjang yang lebih lanjut. PKTM I menekankan pada dua aspek proses, yaitu pertama, penanaman nilai-nilai Islam secara riil dan pembentukan karakter kepemimpinan profetik kedua, pengenalan diri untuk membangun visi kepemimpinan masa depan. Pelatihan Kader Taruna Melati I dalam rangka mencapai tujuannya mengandung empat proses penting: Pertama, need assessment kader di tempat masing-masing, Kedua, sosialisasi dan rekruitment, Ketiga, proses pelatihan, dan Keempat, follow up. Pelatihan Kader Dasar Taruna Melati I menggunakan model pelatihan yang lebih menekankan pada aspek conscientizaco atau penyadaran pribadi dan kelompok akan nilai-nilai ke-Islaman yang berkemajuan. Tujuan dasar Pelatihan Kader Taruna Melati I adalah proses pembentukan karakter kader (character building) sebagai upaya penanaman nilai-nilai dasar gerakan dan etika kepemimpinan IPM. Tujuan khusus Pelatihan Kader Taruna Melati I ialah: 1. Terjadinya proses transformasi nilai kader sebagai perwujudan Islam kehidupan sehari-hari, dimulai dari kesadaran akan pribadi, kelompok dan masyarakat. 2. Terbentuknya pola pikir kader yag imajinatif, kreatif, dan kontemplatif dengan melihat kehidupan secara positif, optimis, dan berkemajuan. 3. Terjadinya proses kesadaran progresif akan dasar-dasar ke-IPM-an dan Kemuhammadiyah-an sebagai pedoman hidup untuk mencapai tujuan organisasi. Al-Islam  Al-Quran dan Al-Hadits  Fiqih Ibadah (Thaharah dan Shalat) Ke-Muhammadiyah-an  Sejarah Muhammadiyah  Kepribadian Muhammadiyah  Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah Ke-IPM-an  Sejarah IPM  Tiga Tertib (Ibadah, Belajar dan Berorganisasi)  Kepribadian IPM  Kepribadian Kader  Psikologi Remaja  Sejarah Peradaban Islam 1  Intrepreneurship  Manajemen dan Kepemimpinan Organisasi  Isu-isu lingkungan hidup  Globalisasi Pada dasarnya Pelatihan Kader Taruna Melati I ini ditujukan bagi semua pimpinan atau calon pimpinan IPM di tingkat ranting atau cabang. Akan tetapi, idealnya pelatihan maksimal 50 peserta dan rasio peserta dengan Fasilitator diharapkan 1 : 10. a. Telah lulus Fortasi b. Memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh penyelenggara a. Sudah mengenal IPM dan Muhammadiyah lebih jauh b. Jenjang SMP kelas 7 sampai SMA kelas 10 SMA c. Telah memiliki persepsi dan motivasi sendiri Fasilitator dalam PKTM 1 adalah yang berjiwa trainer pada pelatihan. Bagi warga belajar PKTM I adalah tim trainer yang telah mengikuti Training For Trainer oleh PD IPM, sekurang-kurangnya: 1. 1 (satu) orang Master Of Training 2. 1 (satu) orang Imam of Training 3. 10 orang anggota 1. Proses Belajar Proses belajar dalam pelatihan ini menggunakan gabungan antara azas pendidikan orang dewasa (androgogy) dan paedagogi (pendidikan anak-anak) dan mengikuti pendekatan aspresiatif. Fasilitator dalam hal ini adalah sebagai trainer yang memiliki kemampuan untuk menggali gagasan, mengkodifikasi masalah, dan mampu memotivasi untuk membangkitkan semangat serta menjadi teladan. Di samping itu fasilitator harus mampu menciptakan suasana belajar di antara sesama peserta dan mampu memotivasi peserta agar berperan aktif dalam/selama proses belajar untuk meningkatkan pengalaman dan penghayatan terhadap suatu materi yang dibahas. 2. Metode Belajar Metode belajar yang digunakan dalam pelatihan ini diantaranya: a. Pemanasan: Metode ini berfungsi untuk membina suasana forum yang hangat dan gembira untuk menarik perhatian peserta terhadap topik yang dibahas. b. Ceramah dan tanya jawab: Suatu cara memberikan informasi kepada peserta yang berfungsi untuk menjelaskan sesuatu. Tanya jawab merupakan suatu cara untuk mengetahui apakah penjelasan sudah jelas. c. Diskusi kelompok: Berfungsi sebagai arena saling bertukar informasi dan memecahkan masalah serta arena cipta dan daya analisa. d. Bermain peran (role play): Berfungsi sebagai penumbuh spontanitas dan ekspresi serta mengembangkan daya analisa dan pengamatan peserta e. Simulasi: Berfungsi sebagai ekspresi spontanitas peserta dan penumbuh daya analisa f. Diskusi Pleno: Berfungsi sebagai arena saling pemantapan pengalaman, saling tukar pengalaman dan analisa hasil karya pribadi/kelompok serta terwujudnya kesimpulan bersama g. Studi kasus: Berfungsi sebagai arena saling tukar informasi dan memecahkan masalah bersama h. Curah pendapat/sharing: Berfungsi membangkitnya keberanian peserta untuk mengungkapkan pendapat dan perasaannya. i. Ice Breaker: Berfungsi untuk memecahkan kejenuhan pada saat paltihan berlangsung. 3. Media Belajar Media belajar yang dipergunakan untuk kelancaran pelatihan relawan pendampingan anak korban konflik dengan pendidikan partisipatori andragogi adalah: Pelatihan Kader Taruna Melati I dilaksanakan di ranting, desa atau kecamatan. Pemilihan lokasi/tempat pelatihan mempertimbangkan fasilitas yang memungkinkan untuk proses pelatihan. Pelatihan berlangsung selama 3 hari terdiri dari kegiatan: 1. Perjalanan datang dan pulang 2. Pembukaan dan penutupan 3. Belajar dan training Penyelenggara pelatihan adalah PC IPM atau PR IPM bidang Perkaderan di masing-masing kecamatan atau ranting. Pelatihan ini juga dapat dilaksankan bersama-sama antara Pimpinan Ranting atau Pimpinan Cabang. Bidang perkaderan membentuk panitia penyelenggara terdiri dari Ketua, Sekretaris, Bendahara dan Pembantu dan dalam proses pengelolaan pelatihan bekerja sama dengan Tim Fasilitator Daerah IPM. a. Menyusun kerangka kerja dan jadwal pelatihan b. Menyusun kepanitiaan pelatihan c. Menetapkan trainer pelatihan d. Bersama trainer menyiapkan materi, media dan sarana yang akan digunakan dalam penyajian materi latihan e. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi proses e. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi proses kegiatan trainer sejak awal sampai akhir f. Melakukan pendampingan pasca-training Manual pelatihan disusun berdasarkan alur logis perencanaan dan pengelolaan pelatihan. Adapun perencanaan dan pengelolaan Pelatihan Kader Dasar TM I dapat diikuti melalui Pelatihan Fasilitator dan Pendamping I. Adapun contoh dari susunan manual acara sebagaimana berikut: Proses terpenting pasca-pelatihan adalah proses tindak lanjut dan pendampingan. Oleh karena itu, pada Pelatihan Kader Dasar Taruna Melati I diperlukan langkah-langkah pendampingan dan tindak lanjut sebagai berikut: Pimpinan Cabang atau Pimpinan Daerah menetapkan surat keputusan bagi pendamping pasca pelatihan berdasarkan usulan dari warga belajar. Pendamping pasca-pelatihan agar mengikuti prosedur dalam melaksanakan pendampingan sebagai berikut: a. Melakukan aktifitas pendampingan dengan berinteraksi baik langsung maupun tidak langsung kepada warga belajar secara kontinyu berdasarkan tujuan dan target PKD TM I. b. Mendorong warga belajar membentuk jaringan informasi berdasarkan agenda yang telah disepakati (leaflet, buletin, jaringan) berkaitan dengan pengembangan wacana dan aktivitas warga belajar untuk mencapai target PKD TM I. c. Memfasilitasi dan mendampingi komunitas kreatif pasca-pelatihan seperti, Komunitas Matematika, Komunitas Kimiah, Komunitas Pecinta Alam, Komunitas Bersepeda, Komunitas Futsal, dan lain-lain. Kegiatan pendampingan dapat dilakukan dengan cara: a. Temu warga belajar untuk memberikan perkembangan informasi masing-masing sebagaimana dalam rencana follow up. b. Pertemuan rutin dengan tema sebagaimana yang disepakati oleh kelompok warga belajar dalam rangka mengembangkan wacana dan menambah kemampuan sebagaimana tujuan dan target PKD TM I. Evaluasi ini diberikan setelah dilakukannya need assessment dan sosialisasi. Evaluasi di sini dimaksudkan untuk mendapatkan atau menilai kebutuhan materi dalam pelaksanaan pelatihan. Adapun evaluasi pra-pelatihan antara lain meliputi: a. Menilai calon warga belajar bedasarkan analisis kebutuhan kader yang disesuaikan dengan kapasitas kemampuan kader dalam meyerap materi dan kebutuhan calon warga belajar. b. Uji rencana materi dan metodologi pelatihan melalui workshop fasilitator dengan pimpinan setempat yang telah memiliki kualifikasi fasilitator. Keberhasilan Materi Pelatihan akan diukur melalui aspek sebagai berikut: a. Aspek Penilaian Aktifitas dan Pemahaman Waktu Pelatihan Fasilitator akan menilai aspek ini, dari segi apakah warga belajar akan dapat memahami materi sesuai dengan kontrak belajar, lalu dapat mengimplementasikan dalam aktifitas-aktifitas selama pelatihan (baik dari segi penugasan, games, bermain peran, sharing, dll). Hal ini dimaksudkan untuk mem- peroleh ilustrasi (mengukur tingkat pengetahuan) sampai sejauh mana tujuan masing-masing materi pelatihan (modul) dapat tercapai. Bahan evaluasinya mencakup semua materi pelatihan yang diberikan. b. Aspek Instrumentasi (Alat Bantu) Evaluasi Untuk dapat mengukur kesempurnaan penilaian maka, dibutuhkan instrumen sbb:  Pree-Test (tes awal) & Post-Test (tes akhir).  Catatan Harian Peserta  Lembar Evaluasi Materi Keberhasilan suatu pelatihan dalam definisi proses justru sangat ditentukan oleh pasca pelatihan itu sendiri. Evaluasi pasca pelatihan ini meliputi: a. Konsistensi antara agenda follow up yang meliputi: 1) Tugas pribadi. 2) Tugas kelompok atau tugas warga belajar pasca-pelatihan dengan praktik mereka semua pasca-pelatihan. b. Inovasi, yaitu seberapa jauh warga belajar mampu memberikan pengembangan aktivitas yang mendukung target pelatihan di luar agenda follow up. Pedoman yang berisi tentang Pelatihan Kader Muda Taruna Melati I merupakan pegangan bagi fasilitator dan pendamping tingklat I. Pada pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah tersebut berdasarkan analisis kebutuhan kader setempat. Pedoman ini wajib digunakan melalui metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu harus digunakan secara disiplin dan konsisten. Sifatnya yang lentur menuntut masing-masing level pimpinan dan fasilitator kreatif mengelola pelatihan dengan tetap berpegang pada target dan tujuan masingmasing level pelatihan kader. P e l a t i h a n Kader Taruna Melati II adalah proses transisi dari perkaderan IPM menuju jenjang yang lebih lanjut. PKM TM II menekankan pada dua aspek proses, yaitu pertama, pemahaman, pengamalan, pendalaman Islam secara riil dan kedua, pengembangan kreatifitas dan ketrampilan. Maksud pemahaman, pengamalan, dan pendalaman Islam secara riil adalah adanya kesadaran kader untuk mengkaji dan mengamalkan Islam ke dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Masing-masing proses memiliki tahapan dan mekanismenya sendiri-sendiri yang disesuaikan berdasarkan target dan tujuan tiap pelatihan dan jenjang pengkaderan IPM. PKTM II menggunakan model pelatihan yang lebih menekankan pada aspek conscientizaco (penyadaran), yaitu penyadaran akan pentingnya berkelompok untuk menggerakkan Islam serta secara kritis dan progresif. Dengan demikian proses pelatihan ditekankan pada proses humanizing dan kreatifitas kelompok untuk mencapai target dan tujuan. Tujuan umum Pelatihan Kader Muda Taruna Melati II adalah proses pembentukan konstruksi berpikir kader yang mampu membaca, menganalisis problem-problem kemanu- siaan pelajar, dan menawarkan solusi dalam bentuk gagasan, advokasi, gerakan maupun karya kreatif. 1. Terjadinya proses transformasi kesadaran keimanan dan keislaman kader yang manifes dalam kehidupan kelompok, yang dimulai dari kesadaran akan pentingnya berkelompok dan bermasyarakat sebagai wujud dari keshalehan sosial. 2. Terjadinya kesadaran kritis dalam melihat struktur masyarakat sekitar dan memiliki kerangka metodologis berpikir yang kritis dan progresif untuk menganalisis dan melakukan perubahan social masyarakat. Al-Islam  Al-Quran dan Al-Hadits  Fiqih Ibadah (Puasa) Ke-Muhammadiyah-an  Muqaddimah AD.ART Muhammadiyah  MKCH  12 Langkah Muhammadiyah Ke-IPM-an  Gerakan Pelajar Berkemajuan  Gerakan Pelajar Kreatif (Strategi Kreatif)  Muqaddimah AD.ART  Kepribadian Kader  Analisa Sosial  Appresiatif Inquiry  Sejarah Peradaban Islam 2  Hak Asasi Manusia  Gender  Analisis Kebijakan Pendidikan Pada dasarnya Pelatihan Kader Muda Taruna Melati II ini ditujukan bagi semua kader IPM yang telah mengikuti PKD TM I. Akan tetapi, prosedur pelatihan menuntut maksimal 40 orang. Oleh karena itu, jika pendaftar melebihi dari 40 orang, maka harus diadakan kualifikasi peserta sebelum satu minggu–satu bulan acara pelatihan berlangsung. Kualifikasi peserta ditentukan oleh pengelola pelatihan (Tim Trainer/Fasilitator) setempat dengan mempertimbangkan pada: 1. Meminimalisir kesenjangan pengetahuan antar-peserta. 2. Paket materi ditentukan berdasarkan hasil kualifikasi rata-rata peserta. 3. Jika terdapat peserta yang diskualifikasi, maka harus didaftar sebagai anggota dan dikelola dalam forum lain untuk mengikuti pelatihan kader dasar selanjutnya. 4. Jika peserta kekurangan, maka peserta diskualifikasi diperbolehkan mengikuti forum dan jika memiliki perkembangan yang baik secara langsung bisa menjadi peserta. Fasilitator atau Pendampingan pada pelatihan bagi warga belajar PKM TM II adalah Tim Fasilitator dan Pendampingan yang telah mengikuti Pelatihan Fasilitator dan Pendampingan II. 1. 1 (satu) orang Master Of Training 2. 1 (satu) orang Imam of Training 3. 8 orang anggota Proses belajar dalam pelatihan ini menggunakan azas pendidikan orang dewasa (andragogi) dan mengikuti pendekatan partisipatori. Latihan yang berdasarkan partisipatoris andragogi ini menempatkan peserta sebagai orang yang telah memiliki bekal pengetahuan, pengalaman, keterampilan serta bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri dan kesadaran kelompoknya. Pengalaman dan potensi yang ada pada peserta adalah sumber yang perlu digali dalam proses pelatihan ini. Pelatih dalam hal ini adalah sebagai fasilitator yang memiliki kemampuan untuk menggali gagasan, mengkodifikasi masalah, dan mensistematisasi masalah peserta berdasarkan metodologi pelatihan dan menciptakan kondisi bagaimana peserta menyelesaikan maslahnya sendiri. Di samping itu fasilitator harus mampu menciptakan suasana belajar di antara sesama peserta dan mampu memotivasi peserta agar berperan aktif dalam/selama proses belajar untuk meningkatkan pengalaman dan penghayatan terhadap suatu materi yang dibahas. Metode belajar yang digunakan dalam pelatihan ini diantaranya: a. Pemanasan Metode ini berfungsi untuk membina suasana forum yang hangat dan gembira untuk menarik perhatian peserta terhadap topik yang dibahas. b. Ceramah dan Tanya Jawab Suatu cara memberikan informasi kepada peserta yang berfungsi untuk menjelaskan sesuatu. Tanya jawab merupakan suatu cara untuk mengetahui apakah penjelasan sudah jelas. c. Diskusi Kelompok Berfungsi sebagai arena saling bertukar informasi dan memecahkan masalah serta arena cipta dan daya analisa. d. Bermain Peran (Role Play) Berfungsi sebagai penumbuh spontanitas dan ekspresi serta mengembangkan daya analisa dan pengamatan peserta e. Simulasi Berfungsi sebagai ekspresi spontanitas peserta dan penumbuh daya analisa f. Diskusi Pleno Berfungsi sebagai arena saling pemantapan pengalaman, saling tukar pengalaman dan analisa hasil karya pribadi/kelompok serta terwujudnya kesimpulan bersama g. Studi Kasus Berfungsi sebagai arena saling tukar informasi dan memecahkan masalah bersama h. Curah Pendapat/Sharing Berfungsi membangkitnya keberanian peserta untuk mengungkapkan pendapat dan perasaannya. i. Ice Breaker Berfungsi untuk memecahkan kejenuhan pada saat pelatihan berlangsung. j. Praktek Lapangan Berfungsi untuk menguji dan mengolah kemampuan forum peserta dengan praktek di lapangan. Pelatihan Kader Madya Taruna Melati III dilaksanakan di daerah otonom atau provinsi. Pemilihan lokasi/tempat pela-tihan mempertimbangkan fasilitas yang memungkinkan un-tuk proses pelatihan. Pelatihan berlangsung selama 5 hari terdiri dari kegiatan: 1. Perjalanan datang dan pulang. 2. Pembukaan dan penutupan. 3. Belajar dan berlatih. Penyelenggara pelatihan adalah Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Bidang Perkaderan di masing-masing provinsi. Pelatihan ini juga dapat dilaksankan bersama-sama antara Pimpinan Wilayah terdekat. Bidang Perkaderan membentuk panitia penyelenggara terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, dan pembantu dan dalam proses pengelolaan pelatihan bekerja sama dengan Tim Fasilitator dan Pendampingan Kader PW IPM. Manual pelatihan disusun berdasarkan alur logis perencanaan dan pengelolaan pelatihan. Adapun perencanaan dan pengelolaan Pelatihan Kader Madya TM III dapat diikuti melalui Pelatihan Fasilitator dan Pendamping II. Adapun contoh dari susunan manual acara sebagaimana berikut: Proses terpenting pasca-pelatihan adalah proses tindak lanjut dan pendampingan. Oleh karena itu, pada Pelatihan Kader Madya Taruna Melati III diperlukan langkah-langkah pendampngan dan tindak lanjut sebagai berikut: Pimpinan Wilayah atau Pimpinan Daerah menetapkan surat keputusan bagi pendamping pasca-pelatihan berdasarkan usulan dari warga belajar. Kegiatan pendampingan dapat dilakukan dengan cara: a. Temu warga belajar untuk memberikan perkembangan informasi masing-masing sebagaimana dalam rencana follow up. b. Kursus periodik dengan tema sebagaimana yang disepakati oleh kelompok warga belajar dalam rangka mengembangkan wacana dan menambah kemampuan sebagaimana tujuan dan target PKM TM III. Keberhasilan suatu kegiatan pelatihan dapat dinilai dari proses, input dan out put. Untuk Pelatihan Kader Madya Taruna Melati III akan menggunakan evaluasi proses yaitu evaluasi pra pelatihan, pelatihan, dan pasca-pelatihan. Evaluasi pra-pelatihan melalui need assessment dan sosialisasi, waktu pelatihan melalui evaluasi in put (sumatif) yaitu evaluasi yang mengukur tingkat pemahaman peserta terhadap materi yang disajikan dengan menggunakan instrumen pre dan post kontrak belajar, dan pasca-pelatihan melalui uji out put melalui follow up dan dilaporkan melalui yudisium. Adapun parameter keberhasilannya akan diukur melalui: Evaluasi ini diberikan setelah dilakukannya need assessment dan sosialisasi. Evaluasi disini dimaksudkan untuk mendapatkan atau menilai kebutuhan materi dalam pelaksanaan pelatihan. Adapun evaluasi pra-pelatihan antara lain meliputi: a. Menilai calon warga belajar bedasarkan analisis kebutuhan kader yang disesuaikan dengan kapasitas kemampuan kader dalam meyerap materi dan kebutuhan calon warga belajar. b. Uji rencana materi dan metodologi pelatihan melalui workshop fasilitator dengan Pimpinan setempat yang telah memiliki kualifikasi fasilitator. Keberhasilan Materi Pelatihan akan diukur melalui aspek: a. Aspek Penilaian Aktifitas dan Pemahaman Waktu Pelatihan Fasilitator akan menilai aspek ini, dari segi apakah warga belajar akan dapat memahami materi sesuai dengan kontrak belajar, lalu dapat mengimplementasikan dalam aktifitas-aktifitas selama pelatihan (baik dari segi penugasan, games, bermain peran, sharing, dll.). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh ilustrasi (mengukur tingkat pengetahuan) sampai sejauhmana tujuan masing-masing materi pelatihan (modul) dapat tercapai. Bahan evaluasinya mencakup semua materi pelatihan yang diberikan. b. Aspek Instrumentasi (Alat Bantu) Evaluasi Untuk dapat mengukur kesempurnaan penilaian maka, dibutuhkan instrumen sbb: Pree-test (tes awal) & Post-test (tes akhir); Catatan Harian Peserta; dan Lembar Evaluasi Materi. Evaluasi Pasca-Pelatihan Keberhasilan suatu pelatihan dalam definisi proses justru sangat ditentukan oleh pasca pelatihan itu sendiri. Evaluasi pasca-pelatihan ini meliputi:  Konsistensi antara agenda follow up yang meliputi: 1) Tugas pribadi. 2) Tugas kelompok atau tugas warga belajar pasca-pelatihan dengan praktik mereka semua pasca-pelatihan.  Inovasi, yaitu seberapa jauh warga belajar mampu memberikan pengembangan aktivitas yang mendukung target pelatihan di luar agenda follow up. Buku ketiga yang berisi tentang Pelatihan Kader Madya Taruna Melati III yang dilengkapi dengan modul ini merupakan pegangan bagi fasilitator dan pendamping tingklat II. Pada pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah tersebut berdasarkan analisis kebutuhan kader setempat. Pelatihan Kader Purna Taruna Melati Utama adalah proses purna dari perkaderan IPM. PKP TM U menekankan pada dua aspek proses, yaitu pertama, merumuskan dan membangun wacana IPM dan Islam Berkemajuan di Era Kontemporer dan kedua, merumuskan isu dan agenda strategis gerakan IPM di tingkat lokal, nasional, dan internasional. Sehingga mampu mengkonstruksi berpikir kader yang pluralis dan mondial. PK TM U tujuannya mengandung empat proses penting: Pertama, need assessment kader di tempat masing-masing, kedua, sosialisasi dan rekruitmen, ketiga, proses pelatihan, dan keempat, follow up. Masing-masing proses memiliki tahapan dan mekanismenya sendiri-sendiri yang disesuaikan berdasarkan target dan tujuan dari pelatihan dan jenjang pengkaderan IPM. Pelatihan Kader Purna Taruna Melati Utama menggunakan model pelatihan yang lebih menekankan pada aspek enlightment atau pencerahan, yaitu pencerahan nalar atau pikiran kritis-kreatif-progresif untuk memetakan gerakan Islam sehingga memiliki cara pandang strategis dalam menggerakkan Islam di masyarakat. Pelatihan Kader Taruna Melati Utama menggunakan model pelatihan yang lebih menekankan pada aspek enlight ment atau pencerahan, yaitu pencerahan otak dan hati/jiwa dengan pendekatan integratif-humanistik dan mengedepankan pembentukan karakter kader yang berkemajuan/progresif. Dengan demikian proses pelatihan ditekankan pada proses humanizing, workshop metodologi dan praktek untuk mencapai target dan tujuan.Tujuan umum Pelatihan Kader Purna Taruna Melati Utama adalah proses perumusan pemikiran kader mengenai masalah IPM dan ke-Islaman serta pembangunan isu strategis berkait dengan gerakan IPM dalam kancah lokal, nasional dan internasional rangka mendukung tujuan IPM dan Muhammadiyah. Setelah pelatihan diharapkan mampu menjadi Kader yang mampu berpikir dan bertindak universal, global, maupun lokal untuk membela kepentingan pelajar serta berinteraksi dan membela kepentingan pelajar tanpa memandang latar belakang golongan, agama, ras, suku, dan budaya. Semuanya untuk kepentingan kemanusiaan. Pelatihan Kader Purna Taruna Melati Utama bertujuan: Terjadinya proses kesadaran progresif untuk merumuskan pemikiran IPM kontemporer dan keislaman yang yang berkemajuan di era globalisasi baik secara praksis maupun teoritis. Terjadinya proses kesadaran prosesif dalam membaca dan memahami realitas sebagai wahana untuk merumuskan isu dan gerakan strategis IPM dalam kancah lokal, nasional dan internasional.  Agama  Ke-Muhammadiyah-an  Ke-IPM-an  Filsafat dan Logika  Ideologi-Ideologi Sosial  Metodologi  Metodologi Ansos  Metodologi  Metodologi Apresiatif Inquiry  Cultural Studies  Internasional Law  Praktek Sosial  Civil Society Pada dasarnya Pelatihan Kader Purna Taruna Melati Utama ini ditujukan bagi semua kader IPM yang telah mengikuti PKM TM III. Akan tetapi, prosedur pelatihan menuntut maksimal 30 orang. Oleh karena itu, jika pendaftar melebihi dari 30 orang, maka harus diadakan kualifikasi peserta sebelum satu minggu–satu bulan acara pelatihan berlangsung. Kualifikasi peserta ditentukan oleh pengelola pelatihan (Tim fasilitator) setempat dengan mempertimbangkan pada:  Meminimalisir kesenjangan pengetahuan antar-peserta.  Paket materi ditentukan berdasarkan hasil need assessment dan kualifikasi potenisal atau kecenderungan ratarata peserta.  Jika terdapat peserta yang diskualifikasi, maka harus didaftar sebagai anggota dan dikelola dalam forum lain untuk mengikuti pelatihan kader dasar selanjutnya.  Jika peserta kekurangan, maka peserta diskualifikasi diperbolehkan mengikuti forum dan jika memiliki perkembangan yang baik secara langsung bisa menjadi peserta. a. Telah lulus Pelatihan Kader Taruna Melati III b. Mendapat mandat dari pimpinannya. c. Memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh penyelenggara. d. Motivasi sendiri. Fasilitator atau Pendampingan pada pelatihan bagi warga belajar PKP TM U adalah Tim Fasilitator telah mengikuti PKP TM U dan tergabung dalam Lembaga Korp Fasilitator Nasional. Proses belajar dalam pelatihan ini menggunakan azas pendidikan orang dewasa (androgogi) dan mengikuti pendekatan partisipatori. Latihan yang berdasarkan partisipatori andragogi ini menempatkan peserta sebagai orang yang telah memiliki bekal pengetahuan, pengalaman, keterampilan serta bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri dan kesadaran kelompoknya. Pengalaman dan potensi yang ada pada peserta adalah sumber yang perlu digali dalam proses pelatihan ini. Metode belajar yang digunakan dalam pelatihan ini diantaranya: a. Ceramah dan Tanya Jawab Suatu cara memberikan informasi kepada peserta yang berfungsi untuk menjelaskan sesuatu. Tanya jawab merupakan suatu cara untuk mengetahui apakah penjelasan sudah jelas. b. Diskusi Kelompok Berfungsi sebagai arena saling bertukar informasi dan memecahkan masalah serta arena cipta dan daya analisa. c. Bermain Peran (Role Play) Berfungsi sebagai penumbuh spontanitas dan ekspresi serta mengembangkan daya analisa dan pengamatan peserta. d. Simulasi Berfungsi sebagai ekspresi spontanitas peserta dan penumbuh daya analisa. e. Diskusi Pleno Berfungsi sebagai arena saling pemantapan pengalaman, saling tukar pengalaman dan analisa hasil karya pribadi/kelompok serta terwujudnya kesimpulan bersama. f. Studi Kasus g. Berfungsi sebagai arena saling tukar informasi dan memecahkan masalah bersama. h. Curah Pendapat/Sharing Berfungsi membangkitnya keberanian peserta untuk mengungkapkan pendapat dan perasaannya.i. Ice Breaker Berfungsi untuk memecahkan kejenuhan pada saat pelatihan berlangsung. j. Workshop Berfungsi untuk merumuskan masalah pasca target materi telah didapat yang dilaksanakan di saat harihari akhir pelatihan berlangsung. Pelatihan Kader Taruna Melati Utama dilaksanakan di daerah otonom atau provinsi. Pemilihan lokasi/tempat pelatihan mempertimbangkan fasilitas yang memungkinkan untuk proses pelatihan. Pelatihan berlangsung selama 7 hari. Penyelenggara pelatihan adalah Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah Bidang Perkaderan. Bidang Perkaderan membentuk panitia penyelenggara terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, dan pembantu dalam proses pengelolaan pelatihan bekerka sama dengan Tim Fasilitator dan Pendampingan Kader PP IPM. a. Menyusun kerangka kerja dan jadwal pelatihan b. Menyusun kepanitiaan pelatihan c. Menetapkan fasilitator pelatihan d. Bersama fasilitator menyiapkan materi, media dan sarana yang akan digunakan dalam penyajian materi latihan e. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi proses kegiatan pelatihan sejak awal sampai akhir f. Melakukan pendampingan pasca-training. Kurikulum pelatihan bersifat fleksibel. Sangat bergantung dari hasil proses need assessment, sosialisasi, dan workshop kebutuhan materi PKP TMU. Proses terpenting pasca-pelatihan adalah proses tindak lanjut. Oleh karena itu, pada Pelatihan Kader Purna Taruna Melati Utama diperlukan langkah-langkah follow up sesuai dengan kebutuhan dan kesepakatan peserta dengan Korps Fasilitator dan Bidang Perkaderan PP IPM. Keberhasilan suatu kegiatan pelatihan dapat dinilai dari proses, input dan out put. Untuk Pelatihan Kader Madya Taruna Melati III akan menggunakan evaluasi proses yaitu evaluasi pra-pelatihan, pelatihan, dan pasca-pelatihan. Evaluasi pra-pelatihan melalui need assessment dan sosialisasi, waktu pelatihan melalui evaluasi in put (sumatif) yaitu evaluasi yang mengukur tingkat pemahaman peserta terhadap materi yang disajikan dengan menggunakan instrumen pre dan post kontrak belajar, dan pasca-pelatihan melalui uji out put melalui follow up dan dilaporkan melalui yudisium. Adapun parameter keberhasilannya akan diukur melalui: Evaluasi ini diberikan setelah dilakukannya need assessment dan sosialisasi. Evaluasi disini dimaksudkan untuk mendapatkan atau menilai kebutuhan materi dalam pelaksanaan pelatihan. Adapun evaluasi prapelatihan antara lain meliputi: a. Menilai calon warga belajar bedasarkan analisis kebutuhan kader yang disesuaikan dengan kapasitas kemampuan kader dalam meyerap materi dan kebutuhan calon warga belajar. b. Uji rencana materi dan metodologi pelatihan melalui workshop fasilitator dengan pimpinan setempat yang telah memiliki kualifikasi fasilitator. Keberhasilan materi pelatihan akan diukur melalui aspek: a. Aspek Penilaian Aktifitas dan Pemahaman Waktu Pelatihan Fasilitator akan menilai aspek ini, dari segi apakah warga belajar akan dapat memahami materi sesuai dengan kontrak belajar, lalu dapat mengimplementasikan dalam aktifitas-aktifitas selama pelatihan (baik dari segi penugasan, games, bermain peran, sharing, dll.). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh ilustrasi (mengukur tingkat pengetahuan) sampai sejauh mana tujuan masing-masing materi pelatihan (modul) dapat tercapai. Bahan evaluasinya mencakup semua materi pelatihan yang diberikan. b. Aspek Instrumentasi (Alat Bantu) Evaluasi Untuk dapat mengukur kesempurnaan penilaian maka, dibutuhkan instrumen:  Lembar Transkripsi Harian Forum.  Lembar Transkripsi Evaluasi Harian.  Lembar Transkripsi Harian Kelompok. Keberhasilan suatu pelatihan dalam definisi proses justru sangat ditentukan oleh pasca-pelatihan itu sendiri. Evaluasi pasca-pelatihan ini meliputi: a. Konsistensi antara agenda follow up yang meliputi: 1) Tugas pribadi. 2) Tugas kelompok atau tugas warga belajar pasca-pelatihan dengan praktik mereka semua pasca-pelatihan. b. Inovasi, yaitu seberapa jauh warga belajar mampu memberikan pengembangan aktivitas yang mendukung target pelatihan di luar agenda follow up. Sebelum penyelenggaraan pelatihan dilaksanakan pastikan semuanya sudah siap mulai dari peserta, pembicara/ fasilitator, tempat, bahan-bahan, dan sarana penunjang pelatihan seperti plano, spidol, alat peraga, dll., sampai dengan konsumsi. Pada saat pelatihan berlangsung, penyelenggara memantau jalannya pelatihan, menyiapkan daftar hadir dan menyiapkan konsumsi pada saat istirahat. Selama pelaksanaan pelatihan sebaiknya dibuat foto dokumentasi untuk kejadian-kejadian yang mempunyai nilai dokumentasi yang baik, misalnya pada saat simulasi, diskusi, acara pembukaan, dan penutupan pelatihan. Pedoman keempat yang berisi tentang Pelatihan Kader Taruna Melati Utama yang dilengkapi dengan modul ini merupakan pegangan bagi fasilitator dan pendamping pascaworkshop evaluasi SPI. Pada pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi berdasarkan analisis kebutuhan kader. Buku ketiga ini wajib digunakan melalui metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu harus digunakan secara disiplin dan konsisten. Sifatnya yang lentur menuntut masing-masing level pimpinan dan fasilitator kreatif mengelola pelatihan dengan tetap berpegang pada target dan tujuan masing-masing level pelatihan kader.Pelatihan Fasilitator dan Pendamping adalah komponen pendukung Sistem Pengkaderan IPM (SPI) yang diselenggarakan dalam kesatuan waktu tertentu untuk mempersiapkan fasilitator dan pendamping yang mampu mengelola perkaderan IPM. Perlu ada komponen pendukung SPI yang mempersiapkan fasilitator sebagai pengelola pelaksanaan kegiatan perkaderan. Terbentuknya fasilitator yang mampu mengelola pengkaderan IPM. PFP diselenggarakan dalam dua jenjang, yaitu: a. Jenjang Pertama : Pelatihan Fasilitator dan Pendamping I b. Jenjang Kedua : Pelatihan Fasilitator dan Pendamping II Penetapan waktu pelaksanaan pelatihan pada dasarnya sangat bervariasi dan tergantung kepada kondisi sekolah. Dalam menentukan jadwal, sebaiknya mempertimbangkan pula berbagai kegiatan lain yang mungkin dilaksanakan bersamaan dengan pelatihan, demikian juga mengenai kondisi para peserta, pada saat mengikuti kegiatan. Kegiatan sebaiknya tidak dilaksanakan pada saat masa ujian, dll. Sarana termasuk alat bantu yang akan digunakan sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan materi/modul yang akan disampaikan, misalnya poster, alat peraga. Demikian pula dengan ruangan tempat pelatihan hendaknya dapat menampung seluruh peserta pelatihan dengan baik, atau idealnya 1 kelas + 20 – 30 peserta. Pemanggilan/undangan peserta pelatihan menjadi salah satu kunci sukses penyelenggaraan pelatihan, untuk itu persiapannya harus dilakukan dalam waktu yang cukup, misalnya pemanggilan/undangan peserta maksimal dilakukan dua minggu sebelumnya. Bila kegiatan pelatihan bersifat sukarela, maka publikasi akan sangat berperan dalam mengumpulkan peserta pelatihan. Sebelum penyelenggaraan pelatihan dilaksanakan pastikan semuanya sudah dipersiapkan mulai dari peserta, pembicara/fasilitator, pejabat yang akan membuka/menutup pelatihan (bila diperlukan), bahan-bahan dan sarana penunjang pelatihan sampai dengan konsumsi. Pada saat pelatihan berlangsung, penyelenggara memantau jalannya pelatihan, menyiapkan daftar hadir dan menyiapkan konsumsi pada saat istirahat. Selama pelaksanaan pelatihan sebaiknya dibuat foto dokumentasi untuk kejadiankejadian yang mempunyai nilai dokumentasi yang baik, misalnya pada saat simulasi, diskusi acara pembukaan dan penutupan pelatihan. Penyelenggara pelatihan adalah Bidang Perkaderan khusus yang berada di Pimpinan Daerah dan Pimpinan Wilayah IPM. Sedangkan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Korps Fasilitaor sesuai dengan tingkatan pimpinan setempat. Untuk kelancaran penyelengaraan pelatihan penanggung jawab membentuk panitia penyelenggara terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, dan pembantu serta menetapkan Tim Fasilitator dan Pendamping. a. Menyusun kerangka acuan dan jadwal pelatihan. b. Menyusun kepanitiaan pelatihan. c. Menetapkan fasilitator pelatihan. d. Menyiapkan materi, media dan sarana yang akan digunakan dalam penyajian materi latihan. e. Melaksanakan tugas sebagai tim pelatih. f. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi kegiatan pelatihan sejak awal sampai akhir. g. melaksanakan pembinaan pada tindak lanjut pelatihan. Terbentuknya fasilitator yang mampu mengelola perkaderan “Pelatihan Kader Taruna Melati 1 dan “Pelatihan Kader Taruna Melati II” pada tingkat Pimpinan Ranting dan Cabang. Kader ikatan yang telah lulus Pelatihan Kader Taruna Melati II (PKTM II). Persyaratan a. Telah lulus Taruna Melati II (TM II). b. Bersedia menjadi fasilitator perkaderan pada tingkat Pimpinan Ranting, Cabang (PKTM I) dan Daerah (PKTM II) secara tertulis. c. Mendapat mandat dari Pimpinan Cabang, atau Daerah. Materi a. Kelompok materi Al-Islam. b. Kelompok materi Ke-IPM-an dan Ke-Muhammadiyahan. c. Kelompok Materi Kefasilitatoran. Jenis Materi a. Sistem Perkaderan Muhammadiyah. b. Filsafat Pendidikan Islam. c. Falsafah dan system Perkaderan IPM. d. Kefasilitatoran. e. Sistem Perkaderan IPM. f. Komunikasi efektif dan persuasif. g. Teknik Outbound. h. Teknik evaluasi. i. Latihan peran fasilitator. j. Rencana Tindak Lanjut Waktu penyelenggaraan a. PFP I diselenggarakan dalam waktu 3 x 24 jam. b. Setiap jenis materi dialokasikan waktu 2 x 45 menit (satu jam pelatihan (JPL) 45 menit). Pendekatan PFP I menggunakan pendekatan andragogis pendidikan orang dewasa dan partisipatoris. Metode a. Ceramah. b. Tanya jawab. c. Diskusi. d. Brainstorming. e. Role playing. f. Ice breaking. g. Studikasus. h. Penugasan. a. Peserta  Daya serap terhadap materi  Sikap selama pelaksanaan  Tingkat perkembangan  Kemampuan bicara  Kemampuan komunikasi b. Penceramah c. Fasilitator d. Pelaksanaan Penanggung jawab : Pimpinan Daerah IPM Pengelola : Tim fasilitator yang ditetapkan oleh Pimpinan Daerah IPM Panitia pelaksana : Pimpinan Daerah atau Pimpinan Ranting dan Cabang yang dibentuk oleh Pimpinan Daerah Terbentuknya fasilitator dan pendamping yang mampu mengelola perkaderan Taruna Melati II dan Taruna Melati III pada tingkat Pimpinan Wilayah. Kader ikatan yang telah lulus Taruna Melati III. Persyaratan a. Telah lulus Taruna Melati III (TM III). b. Pernah menjadi fasilitator minimal di tingkat Pimpinan Ranting dan Cabang c. Bersedia menjadi fasilitator perkaderan pada tingkat Pimpinan Wilayah dan Pusat secara tertulis. d. Mendapat mandat dari Pimpinan daerah atau Pimpinan Wilayah. Kelompok Materi a. Kelompok materi Al-Islam. b. Kelompok materi Ke-IPM-an dan Ke-Muhammadiyahan. c. Kelompok Materi Kefasilitatoran. Jenis Materi a. Sistem Perkaderan Ortom-ortom Muhammadiyah. b. Studi komparasi: Sistem Perkaderan Organisasi Kepemudaan (OKP) lain. c. Sistem pendidikan Indonesia. d. Sistem Perkaderan IPM. e. Kurikulum perkaderan II. f. Kefasilitatoran II. g. Komunikasi efektif dan persuasif II. h. Penyelenggaraan lokakarya dan seminar. i. Psikologi Pendidikan. j. Teknik evaluasi II. k. Latihan peran fasilitator II. l. Rencana tindak lanjut. Waktu penyelenggaraan PFP II diselenggarakan dalam waktu3 x 24 jam. Pendekatan Pelatihan Fasilitator Pendamping II menggunakan pendekatan andragogis. Metode a. Ceramah b. Tanya jawab c. Diskusi d. Brainstorming e. Role playing f. Ice breaking g. Studi kasus h. Penugasan Aspek yang dievaluasi a. Peserta  Daya serap terhadap materi  Sikap selama pelaksanaan  Tingkat perkembangan  Kemampuan bicara  Kemampuan komunikasi b. Penceramah c. Fasilitator d. Pelaksanaan a. Penanggung jawab adalah Pimpinan Wilayah IPM. b. Pengelola adalah Tim Fasilitator yang ditetapkan oleh Pimpinan Wilayah IPM Terbentuknya fasilitator dan pendamping yang mampu mengelola perkaderan Taruna Melati II dan Taruna Melati III pada tingkat Pimpinan Wilayah. Kader ikatan yang telah lulus Taruna Melati III. Persyaratan a. Telah lulus Taruna Melati III (TM III). b. Pernah menjadi fasilitator minimal di tingkat Pimpinan Ranting dan Cabang c. Bersedia menjadi fasilitator perkaderan pada tingkat Pimpinan Wilayah dan Pusat secara tertulis. d. Mendapat mandat dari Pimpinan daerah atau Pimpinan Wilayah. Kelompok Materi a. Kelompok materi Al-Islam. b. Kelompok materi Ke-IPM-an dan Ke-Muhammadiyahan. c. Kelompok Materi Kefasilitatoran. Jenis Materi a. Sistem Perkaderan Ortom-ortom Muhammadiyah. b. Studi komparasi: Sistem Perkaderan Organisasi Kepemudaan (OKP) lain. c. Sistem pendidikan Indonesia. d. Sistem Perkaderan IPM. e. Kurikulum perkaderan II. f. Kefasilitatoran II. g. Komunikasi efektif dan persuasif II. h. Penyelenggaraan lokakarya dan seminar. i. Psikologi Pendidikan. j. Teknik evaluasi II. k. Latihan peran fasilitator II. l. Rencana tindak lanjut. Waktu penyelenggaraan PFP II diselenggarakan dalam waktu3 x 24 jam. Pendekatan Pelatihan Fasilitator Pendamping II menggunakan pendekatan andragogis. Metode a. Ceramah b. Tanya jawab c. Diskusi d. Brainstorming e. Role playing f. Ice breaking g. Studi kasus h. Penugasan Aspek yang dievaluasi a. Peserta  Daya serap terhadap materi  Sikap selama pelaksanaan  Tingkat perkembangan  Kemampuan bicara  Kemampuan komunikasi b. Penceramah c. Fasilitator d. Pelaksanaan a. Penanggung jawab adalah Pimpinan Wilayah IPM. b. Pengelola adalah Tim Fasilitator yang ditetapkan oleh Pimpinan Wilayah IPM. c. Panitia pelaksana adalah Pimpinan Daerah yang ditunjuk oleh Pimpinan Daerah. Pedoman penyelenggaraan pelatihan yang dilengkapi dengan modul ini merupakan pegangan bagi Trainer, Fasilitator, dan Pendamping pelaksanaan perkaderan-perkaderan IPM. Tolok ukur keberhasilan dari pelatihan sangat tergantung dari pengetahuan, sikap, pemikiran, dan perilaku kader pasca-pelatihan. Karena itulah penyelenggaraan pelatihan semacam ini yakni melalui tahap-tahap mengetahui, memahami dan mengimlementasikannya dari suatu informasi yang diterimanya merupakan salah satu alat dan wahanan yang cukup strategis. Selanjutnya setelah pelatihan berakhir diperlukan langkah-langkah tindak lanjut seperti pemberdayaan peserta yang telah dilatih dalam pelatihan fasilitator.A l h a m d u l i l l a h, amanat Muktamar dari Muktamar IPM hingga yang terahir ke-18 (2012) yang menjadi program Bidang Perkaderan untuk meninjau ulang atau merevisi Sistem Perkaderan IPM (SPI) ini akhirnya bisa selesai. Untuk selanjutnya beberapa buku (teknis-operasional) untuk memperkaya dan melengkapi instrumen perkaderan di seluruh jajaran IPM, dan akan disusun kemudian, mulai dari modul, panduan game-game menarik, dan lain sebagainya. Tugas bagi segenap pimpinan, baik PW, PD, PC, adalah melakukan kajian-kajian tentang sIstem perkaderan sehingga menghasilkan “Pedoman Perkaderan” yang khas seluruh wilayah se-Indonesia. Tentunya, dalam merumuskan pedoman perkaderan harus merujuk pada Sistem Perkaderan IPM ini. Sebagai penutup, realisasi dan pelaksanaan perkaderan yang mengacu pada SPI ini membutuhkan komitmen dan kesungguhan dari segenap Pimpinan IPM dan Bidang Perkaderan dan juga bisang yang lain. Kesadaran berorganisasi sebagai sebuah sistem dan berdasar pada fungsi dan tugas yang telah ditentukan, dengan dilandasi niat ikhlas insya Allah akan memberikan dorongan etos bagi kita semua untuk menggerakan perkaderan di semua lini gerakan IPM. Semoga cita-cita dan semangat IPM sebagai gerakan ilmu sebagai wujud Gerakan Pelajar Berkemajuan bisa tercapai, amin. Contoh Silabus Pandangan Islam Berkemajuan DESKRIPSI MATERI Materi ini dirancang untuk peserta TM 3. Menyajikan bahasan yang akan memberikan pengetahuan dan wawasan kepada peserta tentang “Pandangan Islam Berkemajuan” dengan mengacu kepada Tanfidz Se-Abad Muhammadiyah”, serta berbagai aplikasinya untuk nantinya bagi peserta dalam ber-IPM baik menjadi seorang kader atau pimpinan. Selain itu, tidak kalah pentingnya adalah bahwa melalui kemampuan manajerial akan mampu meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai insan kamil di muka bumi. Pembicara: Prof. Dr. Amin Abdullah TUJUAN DAN SASARAN Setelah menyelesaikan mata kuliah ini diharapkan mahasiswa mampu memahami: 1. Akar sejarah Islam Berkemajuan dalam Muhammadiyah 2. Islam Berkemajuan perpektif teologis 3. Paradigma Islam Berkamajuan METODE PENYAMPAIAN 1. Kuliah. peserta wajib untuk mengikuti materi Diperlukan kesadaran peserta tentang pentingnya aktif mendengarkan dan diskusi sebagai sarana belajar mengasah perpektif. 2. Tugas untuk membaca buku teks. Peserta diberi tugas untuk membaca buku teks yang diwajibkan dan buku tambahan lainnya secara teratur. Tugas ini untuk meningkatkan kemampuan dan wawasan keislaman dalam menggali pengetahuan dari hasil membacaannya. POKOK BAHASAN 1. Pengertian Islam Berkemajuan 2. Akar sejarah Islam Berkemajuan 3. Pandangan Islam Berkemajuan 4. Ideologi Islam Berkemajuan 5. Agama BerkemajuanACUAN PUSTAKA 1. Tanfidz Se-Abad Muhammadiyah 2. Memahami Ideologi Muhammadiyah, Haedar Nashir 3. Pelajar Bergerak Menuju Indonesia Berkemajuan, Amin Abdullah, dkk. Abdullah, M. Amin. 2010. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Paradigma Integratif-Interkonektif Yogyakarta: Pustaka Pelajar Abdurrahman, Moeslim. 1995. Islam Transformatif. Jakarta: Pustaka Firdaus ____________. 2003. Islam sebagai Kritik Sosial. Jakarta: Erlangga Achmadi. Merajut Pemikiran Cerdas Muhammadiyah: Perspektif Sejarah. Suara Muhammadiyah. Yogyakarta, 2010 Ahimsa-Putra, Heddy Shri. Makalah. Paradigma Profetik Perlukah? Mungkinkah disampaikan dalam “Sara-sehan Profetik 2011”, diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana UGM, di Yogyakarta, 10 Februari 2011 Alfian, M. Alfan. 2009. Menjadi Pemimpin Politik: Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Ali, Mohamad. 2010. Reinvensi Pendidikan Muhammadiyah. Jakarta: Al-Wasat Assegaf, Abd. Rachman. 2011. Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis IntegratifInterkonektif. Jakarta: Rajawali Press Baidhawy, Zakiyuddin. 2009. Teologi Neo Al-Ma’un: Manifesto Islam Menghadapi Globalisasi Kemiskinan Abad 21. Yogyakarta: Civil Islamic Institut Hadjid, KRH. 2008.Pelajaran KHA Dahlan: 7 Falsafah dan 17 Ayat Pokok Ayat al-Qur’an. Malang: LPI PPM Jainuri, Achmad. 2002. Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah PeriodeAwal. Surabaya: LPAM Khoirudin, Azaki. 2012. Fajar Baru: Mempertajam Ujung Pena Gerakan Pelajar Muhammadiyah yang Mulai Tumpul. Bojonegoro: Ilmi Publisher ____________. 2014. Nun-Tafsir Gerakan Al-Qalam. Jakarta: Al-Wasat Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana ____________. 2000.ParadigmaIslam Intrepretasi untuk Aksi. Yogyakarta: Tiara Wacana Latif, Yudi. 2005. Intelegensia Muslim dan Kuasa: Geneanalogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Bandung: Mizan Pustaka ____________. 2008. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama MPK PP Muhammadiyah. 2007. Sistem Perkaderan Muhammaddiyah. Cet. II. MPK PPM: Yogyakarta Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah. 2009. Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideologi, Khittah, dan Langkah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah Muhammad Mansour Fakih, Roem Topatimasang, Toto Rahardjo/Penyunting. 2000. Pendidikan Populer: Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Mulkhan, Abdul Munir. 2010. Kiai Ahmad Dahlan: Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan. Jakarta: Kompas ___________. 2010. Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan dalam Hikmah Muhammadiyah. (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah ____________. 1990. Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah. PT. Percetakan Persatuan Yogyakarta Markus, Sudibyo, dkk. 2011. Menuju Peradaban Utama: Membedah Peran Muhammadiyah di Ruang Publik. Jakarta: Al-Wasat Nashir, Haedar. 2010. Muhammadiyah Gerakan Pembaruan. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah ___________. 2011. Muhammadiyah Abad Kedua. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah Purwanto, Agus. 2011. Ayat-Ayat Semesta: Sisi-Sisi Al-Qur’an Yang Terlupakan. Bandung: Mizan ___________. 2012. Nalar Ayat-Ayat Semesta: Menjadikan Al-Qur’an Sebagai Basis Konstruksi Ilmu Pengetahuan. Bandung: Mizan Salam, Junus. 2009. KH Ahmad Dahlan Amal dan Perjuangannya. Banten: al-Wasat Sistem Perkaderan IPM (Makasar: PP IPM, 1986) Sistem Perkaderan IPM (Malang: PP IPM, 1992) Sistem Perkaderan IRM (Makasar: PP IRM, 2002) Syafii Maarif, Ahmad. 2009. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah refleksi Sejarah. Bandung: Mizan Syuja. 2009. Islam Berkemajuan: Kisah Perjuangan KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal. Jakarta: Al-Wasat Tafsir. 2011. Jalan Lain Muhammadiyah: Menafsir Ulang Gerakan Dakwah Kultural Muhammadiyah Akar Rumput. Jakarta: Al-Wasath Tuhuleley, Said (Ed), 2003. Reformasi Pendidikan Muhammadiyah. Yogyakarta: Pustaka SM Qodir, Zuly. 2010Muhammadiyah Studies: Reorientasi Gerakan dan Pemikiran Memasuki Abad Kedua. Yogyakarta: Kanisius Whitney, D & Trosten-Bloom, A. 2003. The Power of Appreciative Inquiry: A Practical Guide to Positive Change. San Fransicco: Berrett-Koehler

Tidak ada komentar:

Posting Komentar